[LENGKAP] HIKAYAT DESA RAKIT BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

Awal cerita ini terjadi pada akhir masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan pada awal kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu terjadi perbedaan pendapat rel

Diambil dari cerita yang telah diceritakan oleh para sesepuh yang telah turun temurun di Desa Rakit, mengapa dinamakan DESA RAKIT?

Awal cerita ini terjadi pada akhir masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan pada awal kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu terjadi perbedaan pendapat religius yang sangat mendasar antara punggawa kerajaan diantara rakyat dari punggawa kerajaan.

Mengapa terjadi perbedaan pendapat? Pada kejayaan kerajaan Majapahit, masuklah pedagang dari Persia yang membawa ajaran-ajaran islam. Rakyat Majapahit terpengaruh dengan ajaran islam yang disebarkan oleh para wali.

Sedangkan rakyat Majapahit semula tidak berkepercayaan islam. Dengan alasan yang sangat mendasar itulah maka salah satu anak dari salah seorang punggawa kerajaan yang telah masuk islam tidak cocok dengan system kerajaan Majapahit melarikan diri dari kerajaan.

Siapakah mereka?

Tersebutlah anak lelaki remaja mengembara kearah barat bernama CANTAKA. Dalam pengembaraannya kearah barat itulah menemukan sebuah aliran sungai kea rah barat. 

Dalam penelusurannya yang memakan waktu lama karena sungai tersebut terbilang berkelok-kelok, berarus deras dan banyak memalui jeram. Ketika memalui jeram yang sangat dalam dan lebar CANTAKA hamper putus asa. Maka beristirahatlah di sekitar jeram tersebut dengan penuh kesabaran dan ketawakalannya.

Dalam keheningan alam sekitarnya CANTAKA bertemu dengan seorang puteri yang akan mandi disekitar jeram tersebut. Maka disapalah puteri tersebut oleh CANTAKA. Terjadilah dialog antara mereka yang akhirnya CANTAKA jatuh cinta pada puteri tersebut. Konon ceritanya kata SERAYU berasal dari kata SIRAYU, SIR artinya CINTA, AYU artinya CANTIK.

Tempat bertemunya CANTAKA dengan seorang puteri sampai sekarang dikenal dengan JERAM PUTERI atau KEDUNG PUTERI.

Menetaplah mereka di sebuah tempat yang waktu itu masih hutan belantara. CANTAKA membuat huniannya sendiri untuk membangun sebuah keluarga. Di sekeliling rumahnya yang terbuat dari kayu, bambu dan ijuk ditancapkan beberapa tanaman yang berguna untuk menyambung hidupnya.

Tempat itu sekarang disebut Padukuhan Ceger. Kata Ceger berarti tancap. CANTAKA menancapkan beberapa tanaman/pohon. Padukuhan Ceger menjadi sebuah wilayah kecil yang sangat terkenal dan disegani oleh rakyat wilayah sekitar, Karena dari kegiatan penghuninya dari keturunan KI CANTAKA.

Kegiatan keluarga KI CANTAKA disamping bercocok tanam, yang sangat terkenal adalah memberi pengarahan kepada rakyat di sekitar wilayahnya untuk tidak bersimpatik dengan menghentikan orang-orang yang akan menghantarkan upeti ke kerajaaan Majapahit yang berasal dari daerah barat melintas di wilayahnya.

Barang-barang upeti yang dibawa disarankan untuk dibagi-bagikan kepada rakyat, darimana upeti itu berasal. Karena barang-barang upeti dihadang di wilayah KI CANTAKA tidak jarang terjadi percekcokan mulut dan terkadang berakhir dengan percekcokan fisik.

Keadaan yang demikian itulah menyebabkan upeti dari daerah barat tidak sampai ke kerajaan Majapahit, sehingga raja Majapahit murka dan mengutus punggawanya untuk menyelidiki ke arah barat.

Utusan raja/gandek semakin kea rah barat semakin jelas informasinya, bahwa di wilayah ceger sering terjadi penghadangan upeti ke Majapahit yang dilakukan oleh keluarga KI CANTAKA.

Tersebutlah Gandek sampai di daerah Ceger. Namun masih di sebelah selatan sungai serayu, sedangkan Ceger berada di utara sungai serayu. Gandek menuruni tebing di tepian sungai serayu, bermaksud akan menyeberang kea rah utara menuju Ceger.

Dalam kebimbangan Gandek, karena harus menyeberangi jeram yang dalam dan arus yang besar, maka dipanggillah seseorang yang sedang memancing di seberang jeram.

Gandek : “Hai Kisanak! Seberangkan aku ke Ceger!

Pemancing : “Ya! Jawabnya pendek. Karena disebelahnya ada sebuah rakit kecil. Dilepaskanlah rakit kecil itu dan disodorkan dengan kakinya. Maka meluncurlah rakit kecil itu diatas arum jeram ke depan Gandek yang penuh dengan keraguan dan kemasgulannya.

“Sudah naiklah diatas rakit!” sambung pemancing sambil melambaikan tangannya dan meluncurlah ke arah pemancing dan turunlah gandek tersebut.

Gandek : “Tahukah Kisanak seorang yang bernama Brajawangsa anak dari Ki Cantaka?”

Pemancing : “O…ya…ya. Brajawangsa di Soma Katon” (Soma Katon : orang yang dilihat)

Gandek : “Soma katon itu daerah mana? ( Rupanya Gandek tidak tahu dengan bahasa isyarat)

Pemancing : “Soma katon di daerah Karang Semanding” (Lebih tidak tahu lagi gandek dengan bahasa isyarat pemancing. Karang semanding.

Tapi akhirnya tahulah si gandek bahwa yang dicari ada didepannya.

Gandek : “Kisanak, sampaian Brajawangsa!” (Dengan nada tinggi dan menunjukkan kemarahannya, merasa dirinya dikecoh dengan bahasa kiasan atau sindiran). “Aku ini utusan kerajaan Majapahit, maka sekarang kamu saya tangkap dan saya bawa ke kerajaan Majapahit”.

Terjadilah percekcokan antar Gandek dengan Brajawangsa, maka dicabutlah telinga kanan Gandek. Dan Gandek merasa kesakitan karena tidak sepadan, sambil kesakitan Gandek mohon maaf kepada Brajawangsa. Maka disuruhlah Gandek pulang ke kerajaan Majapahit dengan membawa janji Ki Brajawangsa akan menyusul.

Siapakah Ki Brajawangsa?

Ki Brajawangsa adalah putera ketiga Ki Cantaka, putera pertama dengan nama besarnya Ki Pencur, yang menciptakan watu lembu yang berada di Banjar Kulon , Banjarmangu, Banjarnegara. Diriwayatkan Ki Pencur yang menurunkan Adipati Banjar Kulon yang menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara.

Putera kedua, yang menciptakan dan menjadi Adipati Wirasaba, putera keempat bermukim di Cikakak Ciamis, Tasikmalaya Jawa Barat Mangun Yu. Putera kelima atau terakhir mendapat nama besar Den Ayu Rara Mentes. Penulis tidak mendapat penuturan secara jelas dari sesepuh dan para pendahulu desa.

Dalam kurun waktu yang tidak lama dituturkan, sampailah Gandek ke kerajaan Majapahit dan bertemu dengan Ki Brajawangsa di pintu gerbang kerajaanyang akhirnya bersama menhadap Raja Majapahit.

Dihadapan Raja, Ki Brajawangsa menempelkan telinga kanan si Gandek seperti semula, melihat kejadian tersebut Raja merasa tersinggung dan memerintahkan kepada hulubalang raja untuk menangkap dan memenjarakannya.

Hingga pada suatu saat Ki Brajawangsa diadili dan dipertontonkan di alun-alun kerajaan. System pengadilanpada sat itu dengan cara adu dengan binatang-binatang buas. Karena kerajaan memelihara binatang-binatang buas yang memang disediakan untuk mengadili atau mengadu kesakitan dengan lawan-lawan raja.

Binatang tersebut antara lain: harimau, singa, gajah, banteng, ular besar, dan ular berbisa. Waktu itgu Ki Brajawangsa diadu dengan harimau, singa, dan gajah. Pada tahap awal harimau dan dapat dengan mudah dikalahkan oleh Ki Brajawansa.

Pada tahap berikutnya Ki Brajawangsa diadu dengan gajah dan dipermainkannya gajah tersebut. Bila Ki Brajawangsa ditikam oleh gajah dengan belalainya dan dilemparkan, maka Ki Brajawangsa terbang melayang-layang diatas alun-alun sambil meledek gajah tersebut. Bila Ki Brajawangsa dibanting dan diinjak-injak oleh gajah, Ki Brajawangsa masuk ke dalam tanah.

Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang membuat para penonton kagum dan miris. Namun penonton bertambah simpatik kepada Ki Brajawangsa baik dating dari penonton yang berasal dari rakyat biasa maupun dari kalangan penguasa kerajaan.

Ditengah-tengah riuhnya penonton bersoak-sorai, Ki Brajawangsa keluar dari bumi alun-alun kerajaan diikuti oleh salah seorang pemuda yang gagah dan tampan sambil berteriak menentang prajurit dan rakyatnya. Penonton diam, hening, dan takjub, “Siapakah dia?”, Tanya mereka. Ditangkaplah pemuda yang gagah dan tampan tersebut, sementara pertandingan dihentikan.

Raja : :Hai…pemuda! Siapakah kamu?”

Pemuda : “Saya adik Brajawangsa, anak keempat dari Rama Cantaka. Apa kesalahan kakak saya hingga disiksa dan dipertontonkan kepada rakyat Majapahit?”

Raja : “Banyak kesalahan yang dilakukan oleh keluarga Cantaka, keluarga yang mbalelo dari Majapahit dan membuat onar di wilayah barat”.

Pemuda : (Dia menyampaikan alasan dan argumentasi latar belakang ketidakcocokan system pemerintahan Majapahit)

“Bila kakak saya nanti tewas, saya akan menuntut balas!”

Raja : “Diam…! Tunggu giliran kamu nanti! Lanjutkan pertandingan gajah dengan Brajawangsa.

Maka pertandingan gajah dan Brajawangsa dilajutkan. Kejadian perlawanan antara keduanya berulang-ulang seperti semula. Bila Brajawangsa diinjak-injak amblaslah ke bumi dan bila dilemparkan, melayamng-layanglah Brajawangsa ke angkasa. Pada akhir pertarungan Brajawangsa dapat memukul kepala gajah sampai pecah dan matilah gajah yang perkasa.

Dengan berakhirnya pertandingan itu pulalah Ki Brajawangsa dengan adiknya dipanggil oleh raja.

Raja : “Hai Brajawangsa! Kamu berdua sebenarnya siapa?”

Brajawangsa : “Sinuwun Raja, kami adalah putera dari Cantaka dan ayahku adalah putera dari Pangeran Sabrang Lor”.

Raja : ( Raja terhenyak sambil bertitah). “Brajawangsa, kamu berdua jadilah orang serakit di Ceger di wilayah barat dan sekitarnya. Pulanglah ke Ceger dengan kedamaian. Brajawangsa! Saya beri nama Gajah Layang”.

Dengan perkembangan wilayah dan anak cucu Ki Cantaka dan Brajawangsa pengaruhnya sampai ke wilayah Jawa Barat dampai ke pesisir selatan. Titah raja yang semula dengan bahasa wajar “Kamu berdua jadilah orang serakit” berubah menjadi istilah atau nama.

Kata serakit berasal dari bahasa Jawa yang berarti sepasang, serangki/serangkai, segandeng atau berdua. Karena bahasa dan perkembangan istilah bahasa dan masanya, kata serakit berubah menjadi nama RAKIT. 

Rakit menjadi nama desa atau pula menjadi nama Kecamatan yaitu Desa Rakit Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara yang penduduknya bersatu, akur, maju, dan religious yang tercermin dari kehidupan masyarakat Rakit pada khususnya dan pada umumnya di Kecamatan Rakit.

Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment