[LENGKAP] ASAL USUL KLANGSENG PUTIH

Kademangan Lumbir terletak dipinggir kali Serayu, tanahnya subur dan rakyatnya hidup dengan damai serta sejahtera, dibawah pimpinan Ki Demang Lowereng

Kademangan Lumbir terletak dipinggir kali Serayu, tanahnya subur dan rakyatnya hidup dengan damai serta sejahtera, dibawah pimpinan Ki Demang Lowereng yang bijaksana. Kademangan Lumbir termasuk daerah di wilayah Kadipaten Cengkalsewu, yang berada disebelah utara kali Serayu, Bupatinya bernama Adipati Sabukmimang.

Ki Demang Lowereng mempunyai seorang putri yang cantik, bernama Endang Lestari. Melihat keelokan dan kecantikan putri demang itu, Adipati Sabukmimang hatinya tergoda dan jatuh cinta meskipun ia telah beristri dan memiliki anak, sehingga dengan seribu dalih ia sering bertandang ke Kademangan Lumbir yang pada dasarnya ada udang di balik batu, yaitu ingin bertemu dengan Endang Lestari.

Namun situasi berubah, tatkala Endang Lestari dipersunting oleh Adipati Wirapati, Bupati Tonjong yang terletak di lembah selatan kali Serayu. Memang hanya kepada Wirapati sajalah tumpuan cinta dan harapan hidup Endang. Mendengar berita itu Sabukmimang merasa tersinggung dan marah. Ia berpikir, kecuali kehilangan putri pujaannya, juga lambat laun Kademangan Lumbir menjadi Kadipaten Tonjong.

Pada suatu hari, Adipati Sabukmimang mengumpulkan Patih Sabukalu dan gurunya Ki Lidig serta segenap Nayakapraja, untuk mengadakan musyawarah bagaimana baiknya menghadapi masalah tersebut. Pada pertemuan itu ditemukan akal dan siasat nabok nyilih tangan ( memukul Wirapati dengan perantaraan orang lain).

Dan tatkala ada Pisowanan Agung di Mataram, Sabukmimang melapor kepada Panembahan Senopati, bahwa Adipati Tonjong Wirapati akan mbalelo atau berontak, terbukti Wirapati ini tidak hadir pada pisowanan. Padahal sesungguhnya Adipati Wirapati mengutus wakilnya, yaitu Patih Wiralangse.

Sebelum Wiralangse lapor kepada Panembahan Senopati tentang keadaan junjungannya, yaitu Wirapati. Tetapi raja telah keburu murka mendengar tutur Sabukmimang dan memerintahkan penangkapan terhadap Wirapati. Kebetulan yang mendapat perintah justru Adipati Cengkalsewu, yaitu Sabukmimang yang dibantu oleh prajurit Mataram. Dalam hatinya Sabukmimang merasa lega sebab cita-citanya akan terkabul.

Patih Wiralangse segera pulang ke Tonjong dan segera melapor kepada junjungannya, tentang fitnah Adipati Sabukmimang pada Pisowanan Agung di Mataram. Betapa masygul Wirapati mendengar tuturan patihnya, lalu memanggil semua punggawa dan sentana untuk merundingkan bagaimana langkah yang harus ditempuh demi menjaga martabat dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Dari hasil musyawarah, akhirnya diputuskan menyerang Cengkalsewu lebih dahulu sebelum bala bantuan dari Mataram datang. Maka segera dipersiapkan segala peralatan dan kebutuhan perang, termasuk seperangkat gamelan.

Sebelum berangkat ke medan laga Wirapati berpesan kepada istrinya, Endang Lestari, :” Diajeng, Kakanda akan berangkat ke medan juang, untuk membela diri dari fitnah. Maka sebagai tanda kemenangan, akan berkumandang bunyi Gending Galaganjar atau Kenong Songo (Bambang Sinaga), dan jika kalah sebagai tandanya akan terdengar Gending Undur-Undur Kajongan”. Itulah pesan yang sangat rahasia dari Wirapati kepada istrinya, seraya minta doa restu agar mendapat kemenangan.

Setelah segala sesuatunya siap, maka berangkatlah Wirapati beserta prajurit Tonjong menyeberangi kali Serayu dengan sebuah lesung ke utara, maka tempat ini disebut Kedung Lesung. Setelah mendarat, Wirapati menyempatkan diri menghadap sang mertua yakni Demang Lumbir, mohon pamit serta doa restu.

Akhirnya Ki Demang memerintahkan kepada kawulanya, agar siap membantu prajurit Tonjong dan sebagai penghormatan serta mendorong semangat juang prajurit diadakan acara sekadar pelepasan. Tempat upacara tersebut dikenal dengan nama Siboja (dari kata Mbojani) yang kemudian diabadikan untuk nama sebuah desa.

Seusai upacara Wirapati meneruskan perjalanannya sambil mengumpulkan prajuritnya menurut tugasnya masing-masing, dan diharapkan apabila bertemu dengan rakyat agar turut berpartisipasi, berkumpul menjadi satu kesatuan yang teguh.

Tempat ini dikenal dengan nama Sipule (dari kata Ngepulaken yang berarti mengumpulkan). Sebelum meneruskan perjalanan kearah timur menuju Cengkalsewu Adipati Wirapati istirahat dan duduk tinangkil untuk memohon kepada Hyang Widhi agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam menegakkan keadilan, selanjutnya tempat ini disebut Dukuh Sitangkil.

Perjalanan pada waktu itu sangatlah sulit, sebab harus menelusup hutan belantara pada pada suatu tempat yang datar, Wirapati mengatakan kelak tempat ini akan menjadi Negara dan disebut Dukuh Sidanegara (manakala tempat ini sudah nyata menjadi Negara yakni menjadi tempat pemerintahan, pernah untuk kediaman kantor kawedanan serta kantor pendidikan agama Kantor Kecamatan Wanadadi di Dukuh Sidanegara ini), itu berarti sudah hamper sampai jayabayane jolang-ilang situ-siton dan sebagainya.

Setelah sekian lama menempuh perjalanan berat menempuh hutan belukar, mulailah terasa capek dan haus. Kebetulan disuatu tempat ada sebuah mata air, maka sebagian prajurit mandi di mata air itu. Karena airnya seperti mengandung minyak tanah, setelah kering kulit mereka menjadi busik, maka tempat itu disebut Dukuh Karang Busik.

Di suatu tempat ketika melihat prajuritnya sudah agak letih, terutama yang membawa alat-alat perang. Wirapati merasa kasihan dan duduk termangu-mangu dan tempat itu menjadi Dukuh Karang Mangu. Berkat atur atau dorongan patih dan semua senopatinya agar niat (karsa-nya) tetap diteruskan lalu tempat tersebut diabadikan menjadi Dukuh Wanakarsa yang sampai sekarang menjadi Desa Wanakarsa.

Perjalanan pun diteruskan semakin ke timur , dan sampailah di suatu tempat yang berawa-rawa yang kemudian disebut Dukuh Rawa Windu. Wirapati menugaskan beberapa prajuritnya pergi ke utara, untuk berjaga-jaga kalau-kalau prajurit Adipati Kumitir dari Tangkisan dating membantu Adipati Sabukmimang, sebab Kumitir adalah calon menantunya.

Tempat penjagaan itu disebut Dukuh Kalijaga (sampai sekarang lebih dikenal dengan nama Dukuh Kali Joho, yang kelak kemudian akan ada pos penjagaan dan ternyata sekarang telah berdiri Kantor Sektor Kepolisian, ini pertanda bahwa apa yang disebut-sebut orang sampai pada Jayabaya). Sedangkan Wirapati beserta prajurit lainnya meneruskan perjalanan ke Ibukota Cengkalsewu dengan mencari tempat yang dangkal (Bantar), tempat tersebut kemudian disebut Dukuh Bantar yang berarti dangkal.

Setelah melewati Rawawindu, Wirapati mengutus prajurit sandi untuk mengukur jarak ke ibukota Kadipaten Cengkalsewu yang tinggal beberapa cengkal (ukuran panjang jaman dahulu), tempat itu kemudian disebut Dukuh Cengkal. Menurut laporan, pusat kadipaten sudah dekat, maka Wirapati bersama Prajurit Tonjong beristirahat disebuah tempat yang banyak tumbuh Pohon Kemiri, tempat tersebut lantas disebut Dukuh Kemiri yang kemudian menjadi Desa Karang Kemiri.

Peperangan pun berkobar antara prajurit Tonjong melawan Cengkalsewu. Kedua belah pihak dibantu oleh pengikut dan guru mereka. Ibukota Kadipaten Cengkalsewu menjadi pusat pertempuran. Pertempuran berjalan secara ksatria, jika sudah payah ataupun malam hari mereka beristirahat (gencatan senjata), lamanya peperangan sampai 7 (tujuh) hari, karena kekuatan mereka seimbang.

Dalam peperangan saling menggunakan aji (ilmu) mereka masing – masing untuk mengalahkan lawan. Namun suatu ketika Sabukmimang terdesak ke utara sampai ke Padepokan Kromong. Kesempatan ini tidak disi-siakan oleh Wirapati maka Kadipaten Cengkalsewu dibumihanguskan. Sabukmimang bersama Patik Sabukalu dan Gurunya Ki Lidig semakin terdesak.

Dalam suasana panik, putri Sabukmimang yang bernama Mayang Sari, melarikan diri ke arah utara untuk menyelamatkan diri. Karena mendengar ringkik kuda, ia pun berlindung dan masuk ke sebuah kandang. Penunggang kuda itu adalah Adipati Kumitir dari Tangkisan, calon suaminya sendiri (pacar). Kumitir berhenti dan turun dari kudanya karena tercium bau wangi di sekitar kandang.

Setelah dilacak bau tersebut, ternyata adalah Mayang Sari. Kemudian Mayang Sari mengisahkan tentang orang tuanya yang diserang oleh Adipati Tonjong. Kumitir berjanji akan membantunya dan sebelum pergi Kumitir berkata : “ Diajeng kau menjadi saksi, karena kandang ini berbau wangi, maka kelak di tempat ini jika menjadi sebuah desa aku beri nama Kandang Wangi.”

Di arena pertempuran Wirapati mengandalkan ajinya yang disebut Aji Gelap Ngampar dan berhasil menguasai medan pertempuran. Pada hari ketujuh, Sabukmimang mendapat laporan tentang pesan sandi Wirapati kepada istrinya. Untuk mengucapkan pikiran Wirapati, Sabukmimang memerintahkan kepada prajurit Cengkalsewu yang tersisa untuk menyerbu para niyaga (penabuh gamelan) Wirapati dan memukul gending Undur-Undur Kajongan sebagai pertanda bahwa Wirapati kalah. Mendengar gending itu betapa marahnya Wirapati, sehingga ia mengamuk bagai banteng ketaton, tampil menantang Sabukmimang.

Akhirnya Adipati Sabukmimang, Patih Sabukalu dan Gurunya Ki Lidig bersama-sama mematak Aji Panglimunan, dan sekejap mata lenyap (hilang). Dicari kesegala penjuru, dikira karena ilmunya bersembunyi diruas bambu, maka setiap bamboo itu ditusuk dengan kerisnya sehingga sampai sekarang masih ada bamboo yang ruasnya berlubang disebuah tempat yang disebut Cengkorah. Sisa prajurit Cengkalsewu merasa panik karena pimpinannya sudah tiada, sehingga kekalahan pun diambang pintu. Mereka dibantai habis dengan dilandasi umpak dari Kromong (tempat ini disebut Siumpak dan masih ada sampai saat ini ).

Wirapati kehilangan musuhnya dan di tempat menghilangnya Sabukmimang bersama patih dan gurunya ditandai dengan sebuah batu yang diberi nama silep atau hilang. Sekarang tempat tersebut merupakan pemakaman yang dinamakan kuburan Slema (Silepa dan menjadi nama Dukuh Slepa ).

Begitu selesai Wirapati baru sadar teringat istrinya dan segera pulang ke Tonjong tanpa sepengetahuan prajuritnya. Akan tetapi apa mau dikata terlambat sudah, sebab begitu Endang Lestari mendengar gending Undur-Undur Kajongan ia buru-buru terjun ke Kali Serayu sebab khawatir akan menjadi putri jarahan nantinya. Tempat menggelosornya Endang Lestari, menggilas rumput-rumput ilalang yang sampai sekarang masih lempes tumbuhnya.

Wirapati menyesal dan tanpa pertimbangan lain ia pun ikut menerjunkan diri menyusul istrinya di Kedung Tonjong. Dari pusaran air kedung itu, keluarlah sepasang Klangseng yang berwarna putih yang berkejar-kejaran bagai sedang bercanda. Kemudian masuk lagi melalui pusaran air tadi. Itulah Klangseng Putih jelmaan Adipati Wirapati dan Istrinya Endang Lestari.

Prajurit Tonjong yang tersisa segera pulang dari medan pertempuran karena perang telah selesai. Sesampainya di daerah sendiri, betapa sedih mendengar junjungannya telah murca dan menjelma menjadi Klangseng Putih, maka semua peralatan perang termasuk klewang dipendam di suatu tempat yang hingga kini tempat tersebut disebut dengan Dukuh Tlewang Desa Joho Kecamatan Bawang.

Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment