[LENGKAP] Sejarah Kabupaten Kediri dari Zaman Kerajaan Kahuripan

Sejarah Kediri dimulai dengan sejarah Kerajaan Medang Wetan dan kerajaan Kahuripan. Pembagian wilayah negara Kahuripan terjadi pada tahun 1109.

A. Kerajaan Kahuripan dibagi Menjadi Kraton Daha dan Kraton Jenggala

Sejarah Kediri dimulai dengan sejarah Kerajaan Medang Wetan dan kerajaan Kahuripan. Pembagian wilayah negara Kahuripan terjadi pada tahun 1109. Raja Airlangga mengutus Empu Barada, agar membagi kerajaan buat kedua putranya. Yakni Raden Jayengrana dan Raden Jayanegara.

Pelaksanaan palihan negari atau pembagian kerajaan Kahuripan berada di Ceker Sukoanyar Mojo Kediri. Empu Barada memiliki daya linuwih, sakti mandraguna, putus ing reh saniskara. Beliau mempunyai aji kotang Antakusuma, yang mampu terbang di angkasa raya.

Kabupaten Kediri

Kerajaan Kahuripan harus dibagi adil. Supaya kedua putra Prabu Airlangga hidup rukun tanpa perselisihan. Persoalan warisan tak boleh jadi penyebab silang sengketa. Rebutan warisan dianggap sangat saru. Tanda generasi tak mandiri.

Bagi Raden Jayengrana dan Raden Jayanegara kekeluargaan dan kerukunan jauh lebih berharga. Mereka selalu ingat ajaran Sang Kakek Prabu Darmawangsa Teguh. Trah Medang Kahuripan harus ber budi bowo laksono, ambeg adil paramarta.

Untuk melakukan tugas mulia ini, Empu Barada semedi, lenggah saluku juga, amemet babahan hawa sanga. Meditasi di Gunung anjasmara sampai Doanya terkabul.

Empu Barada segera terbang di angkasa sambil membawa air kendi. Kucuran air kendi tumpah ke bawah. Sepanjang Kuciran air kendi itu berubah menjadi aliran sungai besar. Banjir pun meretas. Maka aliran sungai itu disebut Kali Brantas. Sungai yang mendatangkan kemakmuran.

Kali Brantas membelah kerajaan Kahuripan. Sebelah timur menjadi hak Raden Jayengrana. Beliau turun tumurun menjadi raja di Kraton Jenggolo.

Sebelah barat menjadi jatah Raden Jayanegara. Turun tumurun Raden Jayanegara menjadi raja Kraton Daha. Keduanya menjalin kekerabatan lewat pernikahan.

Putra Prabu Jayengrana bernama Ibnu Kertapati. Putra mahkota menikah dengan putri Prabu Jayanegara yang bernama Galuh Candra Kirana. Perkawinan generasi Jenggolo dan Daha terkenal sebagai cerita Panji. Episode yang terkenal adalah kisah Panji Asmara Bangun.

Putri Prabu Airlangga yang sulung bernama Dyah Sanggrama Wijaya atau Dewi Kilisuci. Beliau cantik jelita, bebasan sugih rupa kurang candra. Setelah Prabu Airlangga wafat, Dewi Kilisuci menjadi penasihat kerajaan Jenggala dan Daha.

Dewi Kilisuci gemar lara lapa tapa brata. Beliau kerap manjing wana wasa, mahas ing ngasepi. Dewi Kilisuci amat dihormati. Sabda Dewi Kilisuci ibarat idu geni. Semua orang menganggap bertuah. Beliau mendirikan Pertapan Goa Selamangleng. Tempatnya di kaki gunung Klothok.

Sepanjang hayat Dewi Kilisuci hidup sendiri atau wadat. Hidup wadat ini dinamakan kedi. Untuk menghormati Dyah Sanggrama Wijaya atau Dewi Kilisuci, kedua adiknya sepakat mengabadikan nama Sang kakak. 

Kerajaan Daha diberi nama Kerajaan Kediri. Nama Kediri merupakan singkatan seorang Kedi yang mengajarkan sikap mandiri. Kediri adalah kedi yang mandiri.

Peresmian kerajaan Daha menjadi Kediri terjadi pada tanggal 25 Maret 1189. Saat itu Dewi Kilisuci berpamitan untuk meniti kesempurnaan hidup. Beliau sudah kebak ngelmu, sipating kawruh.

Dyah Sanggrama Wijaya telah berhasil melakukan tangga spiritual. Mulai dari kama arta darma muksa. Dalam alam Kejawen disebut sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Dalam ilmu tasawuf Islam dikenal syariat tarikat hakikat makrifat.

Wejangan Dewi Kilisuci menjadi pegangan bagi masyarakat Kediri. Supaya tahu sejatining urip. Masyarakat Kediri selalu sadar arti penting sangkan paraning dumadi. Tujuannya agar mencapai puncak satataning panembah. Yaitu manunggaling kawula Gusti.

B. Prabu Joyoboyo waskitho ngerti sakdurunge winarah

Kali ilang kedhunge pasar ilang kumandhange. Begitu ramalan Prabu Joyoboyo dalam membaca owah gingsire jaman. Sang Prabu adalah raja Kraton Kediri yang waskitho ngerti sakdurunge winarah. Prabu Joyoboyo memang narendro agung binathoro mbahu dhendho nyokrowati, ambeg adil paramarta, memayu hayune bawana.

Dalam memerintah kerajaan Kediri yang beribukota di Dahono Puro, Sang Prabu selalu menjunjung tinggi etika ber budi bowo laksono. Wilayah kerajaan Kediri sangat luas, maka diperlukan sikap konsekwen dan konsisten. Satunya kata dan perbuatan. Dapat diibaratkan sebagai pemimpin yang kinasih ing dewa, kinawula ing widodari.

Pujangga kerajaan Kediri dijadikan pandam pandom panduming dumadi. Prabu Joyoboyo memperhatikan nasihat Empu Sedah, Empu Panuluh dan Empu Darmojo. Empu Sedah mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi.

Empu Panuluh memberi kawruh joyo kawijayan guno kasantikan. Empu Darmojo memberi wedharan tata praja. Wulangan wejangan wedharan sarjono winasis itu dihayati oleh Sri Baginda. Prabu Joyoboyo bisa tampil sebagai pemimpin yang ambeg adil poromarto.

Leluhur raja Kediri senantiasa amemangun karyenak tyasing sesama. Seperti eyangnya Prabu Joyoboyo yang bernama Sinuwun Prabu Kamesworo. Sang kakek memberi contoh diplomasi dengan negeri di Asia Selatan, Asia Barat dan Asia Timur.

Bahkan pada tahun 1105 Prabu Kamesworo mendatangkan guru agama dari Negeri Mesir. Namanya Haji Syekh Syamsujen. Kelak menjadi guru spiritual Prabu Joyoboyo. Agomo ageming aji sebagai landasan ajaran memayu hayuning bawono. Artinya membuat dunia selalu adil aman damai.

Prabu Joyoboyo raja Kediri yang terkenal memiliki doyo linuwih. Haji Syekh Syamsujen mengajari loro lopo topo broto. Sang Prabu biasa topo kungkum, topo pendhem, topo gantung, topo ngrowot, topo mutih. 

Kadang kadang juga menjalankan lelaku mirip sato kewan. Yakni topo ngalong, topo ngidang, topo ngiwak. Pada bulan Suro Sri Baginda tak lupa lelaku nggenioro mbanyuoro.

Pada bulan ruwah Prabu Joyoboyo melakukan topo ngrawe, yaitu berusaha menyenangkan orang banyak. Berkat didikan Haji Syekh Syamsujen itu pula, Prabu Joyoboyo menjadi raja yang putus ing reh saniskoro.

Sang Prabu tahu unggah ungguhing boso, kasar alusing roso, jugar genturing topo. Poro kawulo yang tinggal di kutho ngakutho, deso ngadeso, gunung ngagunung sangat hormat dan berbakti. Kraton Kahuripan, Kraton Jenggolo, Kraton Singosari menjalin persahabatan lahir batin.

Demi eratnya kekeluargaan, Retno Sedhah Mirah, putri Prabu Joyoboyo dijodohkan. Cucu Sekartaji yang cantik jelita ini dinikahkan dengan Prabu Ronggowuni raja Singosari. Kerajaan Kediri dan Singosari terikat oleh tali perkawinan. Usaha demikian dalam rangka untuk mewujudkan kumpule balung pisah.

Kepribadian Prabu Joyoboyo sungguh paripurna. Kebijakan raja Kediri ini Khalifah Bagdad mengirim delegasi untuk berkunjung ke Kraton Kediri.

Tim dari Bani Umyyah Irak ini belajar sistem irigasi Kali Brantas. Keluhuran budi Prabu Joyoboyo membikin bangsa manca mau bersahabat erat. Tiap saat mereka pasok bulu bekti yang berupa glondhong pangareng areng.

Sebagian lagi caos peni peni rojo peni, guru bakal guru dadi, emas picis rojobrono. Bebasane kang cerak mangklung, kang adoh mentiyung. Karana kayungyun marang pepoyane kautaman.

C. Ramalan Prabu Joyoboyo tentang Tanda tanda Jaman

Kanjeng Sinuwun Prabu Joyoboyo memberi ramalan tentang jenis jenis jaman. Ramalan Prabu Joyoboyo selalu tepat. Ada empat jaman, yaitu jaman Kartoyugo, jaman Partoyugo, jaman Kaliyugo, kali Sengoro.

1. Jaman Kartoyugo.

Pada jaman Kartoyugo ini bumi nusantara adil makmur, murah sandang pangan papan. Sawah luas, sungai mengalir, hutan hijau, gunung biru. Terjadi pada masa kerajaan Medang, Kahuripan, Singosari, Jenggolo, Doho, Kediri dan Majapahit. Pemimpin dan rakyat bersatu padu. Tanah Jawa bisa mewujudkan prinsip manunggaling kawulo Gusti.

2. Jaman Partoyugo.

Pada jaman Partoyugo ini tanah Jawa semakin moncer. Terjadi pada masa kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Tanah Jawa memiliki budaya adi luhung, seni edi peni. Budaya adi luhung berhubungan dengan nilai filosofis atau pemikiran.

Seni edi peni berhubungan dengan nilai estetis atau keindahan. Tokohnya Kyai Yosodipuro, Ronggowarsito, Paku Buwono dan Mangkunagoro. Mereka adalah pujangga besar yang mewariskan peradaban. Rum kuncaraning bongso, dumunung ing luhuring budoyo.

3. Jaman Kaliyugo.

Pada jaman ini bumi nusantara diganggu oleh pemimpin palsu. Tiap menjelang pemilihan umum, mereka mendekati rakyat. Ngalor ngidul mau membela rakyat. Sekolah akan gratis, berobat akan gratis.

Demi ambisi kekuasaan, tak segan segan sogok sana sini. Setelah berhasil menjabat, mereka lupa laut darat. JamanPemimpin gadungan ini biasa omong mencla mencle. Usuk omong dhele, sore dadi tempe. Jaman Kaliyugo orang suka melanggar tata krama.

4. Jaman Kalisengoro.

Pada jaman Kalisengoro ini banyak sekali berita hoax seliweran. Orang berbohong dengan media sosial. Informasi dan teknologi jadi alat tipu tipu. Hp, Internet, email, radio, televisi digunakan untuk saling serang. Ujung ujungnya banyak korban.

Apalagi saat ada bencana dunia. Wabah penyakit menular. Lantas diolah untuk membuat gaduh dan kisruh. Ketika masyarakat panik, para penipu ini mengambil keuntungan. Pembohong ini mengail di air keruh. Oleh karena itu, Prabu Joyoboyo bersabda dengan bijaksana.

Sing bener ketenger, sing salah seleh. Becik ketitik, olo ketoro. Sapa kang mbibiti olo, wahyune bakal sirno. Inilah ajaran Prabu Joyoboyo. Agar kita selalu eling lan waspodo.

D. Kediri sebagai Wilayah yang gawat kaliwat liwat

Bagi penguasa Jakarta, Kabupaten Kediri dianggap gawat kaliwat liwat, angker kepati Pati. Sampai sekarang wilayah Kediri dipercaya sebagai daerah yang wingit, angker kepati pati. Selamanya tidak ada Presiden Indonesia yang berani datang di wilayah Kediri.

Presiden RI selalu merasa sor prebawa, kalah awu dengan pimpinan Kediri.Sikap hidup masyarakat Kediri pasti berkait dengan sejarah leluhur. Mereka bangga dengan sejarah masa silam. Daftar priyagung yang pernah memimpin Kediri.

1. Adipati Cakraningrat l, 1832 – 1846
2. Adipati Cakraningrat ll, 1846 – 1862
3. Adipati Cakraningrat lll, 1862 – 1870
4. Adipati Cakraningrat lV, 1870 – 1894
5. Adipati Cakraningrat V, 1894 – 1906
6. Adipati Cakrakusuma l, 1906 – 1917
7. Adipati Cakrakusuma ll, 1917 – 1926
8. Adipati Cakrakusuma lll, 1926 – 1940.
9. Adipati Cakrakusuma IV, 1940 – 1945
10. R. Soeprapto 1945 – 1950
11. R. Dwidjo Soemarto 1950 – 1960
12. R. Soedjono 1960 – 1966
13. Hartojo 1966 – 1968
14. Anwar Zainuddin 1968 – 1973
15. Drs. Soedarmanto 1973 – 1978
16. Drs. Setijono 1978-1989
17. Drs. Wijoto 1989-1999
18. Drs. HA Maschut 1999 – 2009
19. Dr. Samsul Ashar 2009-2014
20. Abdullah Abu Bakar 2009 – 2019.

Wilayah Kediri memiliki pemimpin yang unggul. Pada tanggal 25 Maret 1832 Kanjeng Raden Tumenggung Adipati Cakraningrat l ditetapkan sebagai Bupati Kediri.

Beliau diangkat oleh Sinuwun Paku Buwono Vll, raja Karaton Surakarta Hadiningrat. Patihnya bernama KRA Sasradiningrat l. Saat pelantikan berkumandang gendhing Carabalen dan gendhing monggang.

Hubungan erat dengan Karaton Surakarta Hadiningrat diperkokoh dengan tali pernikahan. Adipati Cakraningrat l memiliki putri cantik. Namanya Raden Ajeng Gombak.

Beliau istri pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita. Keduanya dimakamkan di Palar Trucuk Klaten. Pujangga agung Karaton Surakarta Hadiningrat ini menulis serat kalatidha, crmporet, witaradya dan Pustaka Raja Purwa.

Kabupaten Kediri tampil ramah, murah, mudah bagi sekalian warga. Berkat kepemimpinan yang ayem ayom, guyub rukun. Bupati yang memimpin Kediri sampai tahun 2020 adalah dr Hj Haryanti Soetrisno. Wakil Bupati adalah Drs H. Masykuri MM.

Sejarah Kediri yang gemilang itu sudah berlangsung berabad abad. Keselarasan hidup diutamakan, demi tertibnya jagad gumelar lan jagad gumulung. Orang Kediri menjunjung tinggi prinsip desa mawa cara, negara mawa tata.


Sumber : https://harianforum.com/sejarah-kabupaten-kediri/

Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment