Posisi parlemen legislative sangat kuat untuk mempengaruhi kabinet, bahkan bisa menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Pemerintah kemudian perlu membentuk kabinet baru secepatnya.
Demokrasi Liberal sebenarnya sama dengan Sistem Parlementer pada umumnya, namun penyebutan ini dipergunakan untuk menandai perbedaannya dengan masa Demokrasi Terpimpin yang terjadi setelahnya.
Sistem ini hanya dapat berlangsung baik apabila parlemen memiliki komposisi yang seimbang dan tetap antara pendukung pemerintah dan oposisi. Komposisi pendukung dan oposisi pemerintah yang seringkali berubah akan membuat kabinet dapat dijatuhkan sewaktu-waktu.
Ciri-Ciri Masa Demokrasi Liberal
- Parlemen memegang posisi yang kuat terhadap kabinet
- Presiden dan Wakil Presiden bertugas sebagai kepala negara saja.
- Penentuan kebijakan didasarkan atas keputusan mayoritas.
- Sering terjadi mosi tidak percaya pada kabinet
- Terjadi banyak gerakan ketidakpuasan karena lemah dan tidak stabilnya pemerintahan.
- Pemilu terlaksana sebagai proses demokrasi.
- Konstitusi menjadi landasan penting bagi negara, dilihat dari pembentukan konstituante.
Sejarah Singkat Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal
Kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar tanggal 6-15 Desember 1949 salah satunya adalah membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan panduan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
RIS terdiri atas 16 negara bagian, dengan luas wilayah dan penduduk yang berbeda-beda. Sidang Parlemen dan Senat RIS pada 16 Desember 1949 menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS, yang kemudian menunjuk Mohammad Hatta sebagai perdana Menteri.
17 Agustus 1950 RIS kembali menjadi Republik Indonesia (negara kesatuan). Tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh M. Natsir sebagai perdana Menteri sejak September 1950.
Demokrasi Liberal berjalan terpincang-pincang dengan adanya tujuh kabinet dalam sembilan tahun, gerakan separatisme di banyak tempat, dan kekacauan ekonomi nasional. Ketidakstabilan berkepanjangan ini nantinya dihentikan oleh presiden dan diganti dengan pemerintahan otoritarian.
Kabinet-Kabinet yang Pernah Memerintah
1. Kabinet Natsir
Kabinet Natsir memerintah dari tanggal 6 September 1950 sampai dengan 20 Maret 1951, hanya selama enam bulan. Inti dari kabinet ini adalah Masyumi, dan berbentuk kabinet koalisi. Kabinet Natsir berfokus pada penggiatan usaha menuju keamanan negara dan konsolidasi politik.
Tugas selanjutnya adalah melakukan penyempurnaan Angkatan Perang dan meninjau kembali penyerahan Irian Barat. Namun ternyata perundingan dengan Belanda pada 4 Desember 1950 tidak menghasilkan apa-apa. Hubungan kabinet dan parlemen memanas berujung pada Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden pada 21 Maret 1951.
2. Kabinet Sukiman
Kabinet Sukiman berjalan dari April 1951-April 1952, kabinet ini dipimpin oleh dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI), koalisi dalam kabinet diharapkan bisa memunculkan kestabilan politik. Ditambah lagi satu tugas yaitu mempercepat persiapan pemilihan umum pertama Indonesia.
Penyebab utama kejatuhan Kabinet Sukiman adalah penandatanganan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menlu RI Ahmad Subardjo dan Dubes AS Merle Cochran. Sehingga oleh parlemen dianggap mencoreng politik luar negeri bebas-aktif. Sukiman meletakkan mandatnya pada 23 Februari 1952.
3. Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo memerintah pada April 1952-Juli 1953. Wilopo yang berasal dari PNI Menyusun kabinet yang berisi dari banyak partai, dengan harapan dapat memunculkan stabilitas politik.
Kabinet ini dihadapkan dengan permasalahan ekonomi yang memburuk karena tidak seimbangnya ekspor-impor serta defisit anggaran negara. Kejatuhan kabinet ini diakibatkan oleh beberapa peristiwa, seperti Peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa Tanjung Morawa.
Wilopo yang diguncang oleh mosi tidak percaya dari Sarekat Tani Indonesia dan PNI Sumatera Utara, terpaksa meletakkan jabatannya.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Kabinet Ali I berjalan dari Juli 1953-Agustus 1955. Ali Sastroamidjojo sendiri berasal dari golongan NU. Kabinet ini bertugas untuk melakukan persiapan akhir dari pemilu yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 1955.
Kabinet Ali I berhasil melaksanakan Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung pada April 1955. Kabinet ini diguncang oleh konflik internal, antara lain penarikan menteri-menteri dari golongan NU dan konflik antara Menhan Iwa Kusumasumantri dengan pimpinan TNI AD.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Burhanuddin Harahap diminta oleh Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet. Kabinet ini berjalan dari Agustus 1955-Maret 1956. Tugas utama dari kabinet ini adalah memastikan Pemilu 1955 berjalan dengan baik.
Terdapat 100 partai mengajukan diri untuk DPR, dan 82 partai untuk konstituante, ditambah lagi 86 organisasi dan perseorangan yang ikut serta dalam pemilu. Tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai dengan terlaksananya pemilu yang akan membentuk kabinet baru.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Ali Sastroamidjojo kembali ditunjuk presiden untuk membentuk kabinet. Kabinet ini beranggotakan wakil-wakil dari PNI, Masyumi, dan NU. Namun tokoh-tokoh ketiga partai menolak memasukkan PKI.
Kabinet ini bertugas untuk membentuk Rencana Lima Tahun, mempercepat otonomi daerah dan penunjukkan DPRD, serta sekali lagi mengusahakan percepatan penyerahan Irian Barat.
Pada masa ini presiden menandatangani UU Pembatalan KMB pada 3 Mei 1956. Kebijakan ini memunculkan kebingungan peralihan modal Belanda, yang berujung pada penjualan kepada kelompok Cina karena parlemen menolak nasionalisasi aset.
7. Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda adalah kabinet terakhir pada masa demokrasi liberal, berjalan dari Maret 1957 sampai dengan Juli 1959. Kabinet ini memiliki tugas yang serupa, yaitu perjuangan Irian Barat, melanjutkan pembatalan KMB, dan perbaikan keadaan negara.
Kabinet ini dibentuk bersamaan dengan memuncaknya pergolakan di berbagai daerah. Kabinet ini bubar karena Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai selesainya masa demokrasi liberal.
Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Sumitro berpendapat bahwa kunci menumbuhkan ekonomi nasional adalah memunculkan kelas pengusaha. Gerakan Benteng (1950-1953) dijalankan untuk memberikan kredit ringan pada 700 perusahaan Indonesia, namun tidak efektif karena sering disalahgunakan.
Permasalahan utama ekonomi masa ini adalah defisit anggaran negara akibat penerimaan yang kecil. Ekspor sempat meledak pada masa Perang Korea pada tahun 1950, namun kembali menurun pada 1951.
Jumlah uang yang beredar tidak terkontrol, dan biaya hidup yang terus meningkat juga masalah utama di masyarakat. Presentase defisit terus meningkat, pada 1950 mencapai 20%, sedangkan pada 1960 mencapai 100%. Ekonomi pada masa ini sangat carut-marut dan terus berlangsung sampai dengan tahun 1965.
Kebijakan Politik pada Masa Demokrasi Liberal
1. Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Asia Afrika merupakan lanjutan dari Konferensi Colombo pada April 1954. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai lanjutan pertemuan antara pimpinan negara Asia-Afrika untuk mengupayakan kedamaian.
Konferensi ini memunculkan relasi dan kekuatan baru antar negara baru, serta membuat Indonesia memperoleh dukungan dalam merebut Irian Barat, serta persetujuan dwikewarganegaraan dengan RRC.
2. Pemilu 1955
Pemilu ini adalah pertama kalinya dilaksanakan sejak Indonesia merdeka 1955. Kegiatan ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperoleh legitimasi sebagai penyelenggara negara demokrasi.
Pemilu Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember, dan Pemilu DPR pada 22 Desember. Hasilnya adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI sebagai pemenang pemilu dan menghasilkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
3. Politik Luar Negeri Bebas-Aktif
Indonesia menerapkan politik luar negeri bebas-aktif di tengah ketegangan dunia antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sikap ini ditunjukkan dalam keikutsertaan Indonesia dalam Gerakan Non-Blok serta memprakarsai Konferensi Asia-Afrika sebagai bentuk penghimpunan kekuatan yang tidak memihak serta dapat berhubungan dengan semua negara yang menjunjung tinggi kedamaian dunia.
Akhir Demokrasi Liberal
Masa demokrasi liberal diakhiri oleh keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketika kondisi tidak membaik selama sembilan tahun dan kegagalan konstituante untuk merancang pengganti UUDS 1950.
Presiden mengambil alih tampuk kekuasaan dengan membubarkan konstituante, mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, serta membentuk MPR dan DPA.
Presiden Soekarno dengan dukungan utama dari TNI dan kemudian PKI berupaya untuk menuntaskan revolusi nasional dan mewujudkan stabilitas negara dengan kekuasaan penuh di tangannya.