[LENGKAP] Kelahiran, Kejayaan, dan Kemerosotan PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangannya.
PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangannya. Mulai dari kemunculannya di era penjajahan, pengupayaan kekuasaannya di era Demokrasi Parlementer, kejayaan politik di era Demokrasi Terpimpin, hingga lenyap di awal era Demokrasi Pancasila.

Untuk dapat memahami sejarah dari kemunculan hingga kelenyapan PKI ini, pembahasan perlu dimulai dari awal komunisme muncul di Indonesia, dan bagaimana hal itu kemudian berlanjut pada kemunculan organisasi-organisasi buruh yang menjadi embrio dari PKI.

1 Kelahiran PKI Pada Era Penjajahan

Pada awal abad ke-20, Uni Soviet merupakan negara berpaham komunisme pertama di dunia, dengan Vladimir Lenin sebagai pemimpin dari revolusi komunisme yang dilakukan. 

Dalam rangka menyebarkan paham komunisme keseluruh dunia, Lenin membentuk Communist International (Comintern) dengan tujuan untuk membangkitkan revolusi komunis di seluruh dunia agar mengakibatkan kehancuran kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Sebagai salah satu utusan dari Comintern, Tan Malaka memiliki tugas sebagai penyebar paham komunisme di Hindia-Belanda. 

Namun walaupun demikian, beliau bukanlah pelopor dari munculnya paham komunisme di Hindia Belanda tersebut. Penyebar komunisme pertama di Hindia Belanda adalah seseorang yang bernama Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet.

Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet

Pada tahun 1914, Sneevliet dan koleganya membentuk serikat buruh bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada Pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda, dalam rangka menjamin kesejahteraan kerja para buruh yang bekerja dalam Pelabuhan-pelabuhan tersebut. 

ISDV memiliki 85 anggota yang berasal dari partai-partai Belanda. Meskipun begitu, para anggota ISDV memanfaatkan serikat ini untuk memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang pribumi, terutama buruh dalam mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

Di tahun-tahun berikutnya setelah pembentukan serikat ini, ISDV terus melakukan penyebaran pandangan Marxisme kepada masayarakat pribumi, baik kaum buruh, intelek, agamawan, hingga nasionalis. 

Hal ini dilakukan melalui pemanfaatan surat kabar yang menerbitkan berita-berita seputar anti-kapitalisme dan anti-kolonialisme. Pengaruh dari ISDV dan Sneevliet terlihat pada sejumlah kaum yang kemudian beralih pandangan kepada ide-ide marxisme. 

Hal ini yang terjadi pada organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam (SI) yang mengalami kepecahan pandangan mengenai ide-ide yang dibawa oleh Sneevliet tersebut. Akibatnya SI pecah menjadi dua, yakni SI Merah yang dipengaruhi Sneevliet dan SI Putih yang menolak pengaruh Sneevliet (Sinaga, 1960).

Melihat pengaruhnya terhadap masayrakat pribumi dengan ide-ide anti-kolonial yang dapat berujung pada pengupayaan pemberontakan, pemerintah Belanda kemudian mengusir paksa para kader ISDV dengan memulangkan anggota-anggotanya kembali ke Belanda. 

Sneevliet sendiri dipulangkan ke Belanda pada tahun 1918, meninggalkan ISDV kepada kurang lebih 400 anggota yang tersisa. Pada tahun 1919, kurang lebih 400 anggota ISDV tersebut didominasi oleh orang-orang pribumi, dengan orang belanda yang hanya beranggota 25 orang saja.

Setelah kepergian kader-kader Belanda anggota ISDV beserta Sneevliet, pengaruh dari ide-ide marxis yang mereka tanamkan tetap tinggal pada anggota-anggotanya serta simpatisan serikat buruh tersebut. Sosok kepemimpinan Sneevliet kemudian diambil alih oleh kader-kader utamanya yakni, Semaun dan Darsono. 

Mereka kemudian meneruskan berbagai upaya penyebaran paham marxisme, dan mengaktualisasinya dengan pembentukan organisasi politik yang bernama Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) pada tahun 1920 (Sinaga, 1960). 

Semaun kemudian menjadi ketua, dan Darsono menjadi wakil ketuanya, dengan orang-orang Belanda bekas kader ISDV menjadi sisa perangkat organisasi lainnya. PKH kemudian menjadi organisasi berpaham komunis pertama di Asia, yang kemudian mendapat rekognisi internasional berkat bantuan dari Sneevliet.

Pada tahun 1924, PKH kemudian mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara bersamaan meresmikan posisinya sebagai organisasi politik yang bertujuan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. 

Perubahan nama tersebut, membuat PKI memiliki hubungan yang semakin kuat dengan Comintern, yang mana membuat partai ini semakin tidak sejalan dengan nilai dan cita-cita dari Pan-Islamisme. Pihak SI membalas hal tersebut melalui penerbitan surat kabar, beserta pembahasan dalam konggresnya. 

Untuk mengakhiri infiltrasi ideolohi yang dilakukan oleh PKI dalam SI maka dalam Konggres SI ke-6 yang dilakukan di Surabaya, Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar disiplin partai harus ditegakkan dalam melarang keanggotaan rangkap jabatan dalam keorganisasian lain. 

Hal ini kemudian membuat kecewa SI merah yang telah tergabung dalam PKI. Sebagai balasan, PKI mengadakan konggres di Bandung, dimana mereka memutuskan bahwa di mana ada SI-Putih di situ pula dididirikan SI-Merah. 

Pada bulan April 1924 SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat, dan resmi menjadi sub organisasi dari PKI, yang kemudian melebur dengan PKI pada bulan Desember 1924 (Wirawan, t.t).

Pada tahun 1925, PKI beserta afiliasinya mendorong sebuah pergerakan pemogokan oleh para buruh dalam sektor penting seperti kereta dan trem, yang mana hal ini dimaksudkan untu memulai penolakan besar-besaran pada pemerintah Belanda yang diharapkan berujung pada revolusi (Sinaga, 1960). 

Anggota PKI

Sebelumnya, pemerintah Belanda telah melakukan upaya untuk menghentikan Gerakan dari PKI ini, hal tersebut dilakukan dengan pengasingan yang dilakukan kepada pemimpin-pemimpin PKI. Tan Malaka tahun 1922 dibuang dan diusir dari Indonesia. 

Sedangkan Semaun diasingkan ke Eropa pada tahun 1923, dengan anggota-anggota lainnya yang diasingkan ke Boven Digul, Irian Barat. (Syukur, 2008). 

Sedangkan pada Januari 1926, para pentolan PKI yang tersisa seperti Musso, Boedisoetjitro, dan Soegono rencananya akan ditangkap oleh Gubernur Jendral van Limburg Stirum tetapi mereka telah pergi ke Singapura untuk menghindari penangkapan tersebut.

Akibat kosongnya para pemimpin PKI yang sedang melarikan diri di luar negeri, para anggota PKI dan simpatisannya menjadi kacau. Banyak yang kemudian melakukan aksi-aksi pergerakan yang tidak sesuai dengan pandangan komunisme secara teoritis. 

Hal ini berpuncak pada wacana pemberontakan dimana pihak PKI mendeklarasikan sebuah Republik pada tahun 1926. Wacana pemberontakan tersebut ditentang oleh Tan Malaka, dengan Alimin mencoba mendiskusikannya dengan beliau di Manila perihal wacana tersebut. 

Tan Malaka menjawabnya dengan keputusan prambanan yang menjelaskan pertentangannya mengenai wacana tersebut dalam lima poin, yaitu 
  • Situasi revolusioner belum ada. 
  • PKI belum cukup berdisiplin, 
  • Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI. 
  • Tuntutan/sumbangan konkret belum dipikirkan. 
  • Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme. 
Hal ini kemudian memicu terpecah pelahnya pandangan Tan Malaka dengan Alimin, terlebih lagi para simpatisan PKI yang kebingungan untuk mengikuti pandangan yang mana mengingat ketidakhadiran pemimpin-pemimpin ini di tanah air. 

Bagai ayam kehilangan induknya, para anggota PKI tanpa para pemimpinnya menjadi sangat militan. Hal ini berujung pada pelaksanaan pemberontakan militan yang dilakukan malam hari tanggal 12 November 1926. di Jawa Barat (Banten, Priangan) dan menyusul 1 Januari 1927 di Sumatra Barat. 

Pemberontakan di Batavia dapat ditumpas dalam waktu satu hari. Di Banten dan Priangan penumpasan selesai pada bulan Desember. Sedangkan di Sumatra dapat ditumpas selama tiga hari dan mendapat perlawanan yang relatif kuat. (Wirawan, t.t).

Pemberontakan ini pada akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh pemerintah Belanda. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dengan 823 dikirim ke Boven Digul. 

Hal ini menandai kehancuran PKI dan kemudian pelarangannya oleh pemerintah Belanda, yang kemudian memaksa PKI untuk bergerak di secara diam-diam. (Wirawan, t.t)

2 Perjuangan PKI Meraih Kekuasaan Pada Era Parlementer

Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, PKI dapat kembali ke dalam panggung perpolitikan. Karena kolonialisme telah berakhir, PKI kini berfokus pada urusan kuasa dan pemerintahan, sama seperti yang dilakukan semua partai lainnya.

Pada bulan Oktober 1945, pemerintah Indonesia mengumumkan pemberlakuan sistem multipartai sehingga berdirilah partai-partai politik resmi baru, yang berdasar pada ideologi-ideologinya. 

Secara garis besar terdapat lima aliran utama dalam pemikiran politik di Indonesia sepanjang tahun 1945 hingga 1965 yaitu Islamisme, Komunisme, Nasionalisme Radikal, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa (Syukur, 2008). Dalam hal ini, PKI sebagai representasi dari aliran Komunisme memiliki kedudukan yang cukup kuat dalam perpolitikan Indonesia kala itu.

Pada tahun 1948, Musso yang merupakan salah satu pentolan PKI yang melarikan diri pada masa penjajahan, kembali ke Indonesia dan kemudian menjabat menjadi Sekjen Politbiro PKI. 

Karena posisinya sebagai tokoh komunis internasional serta pemikirannya yang radikal akan ide-ide komunisme, Musso dapat mempengaruhi para pemimpin PKI dalam menerapkan ide-ide beserta pemikiran perjuangannya dalam berbagai keputusan partai tersebut. 

Dengan posisinya sebagai Sekjen Politbiro, PKI berhasil meningkatkan anggotnya sepuluh kali lipat, mulai dari 3000 menjadi lebih dari 30.000, berkat upaya Musso dalam menggabungkan PKI bersama empat partai Indonesia berideologi komunisme lainnya, yaitu Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Sentral Buruh Seluruh Indonesia, dan Partai Buruh Indonesia. (Swift, 1989).

Walaupun partai tersebut mengalami pertumbuhan yang begitu besar, perjuangannya dalam meraih kekuasaan terbilang cukup sulit karena terdapat pertentangan politik dengan pihak-pihak lain, ditambah dengan kondisi Perang Dingin yang memunculkan sikap anti-komunisme, posisi PKI dalam upaya perpolitikan menjadi semakin tidak mudah. 

Presiden Soekarno sendiri memiliki kekhawatiran akan PKI karena andil mereka dalam peperangan melawan Belanda yang mana akan menguatkan pengaruh mereka dalam perpolitikan dan mengancam posisinya sebagai Presiden. 

Pada 5 September 1948, Musso memberikan sebuah pidato anjuran yang ditujukan kepada pemerintah agar merapat posisinya dengan Uni Soviet, namun tentu saja hal ini tidak mempengaruhi pemerintah dalam pemutusan kebijakannya, hal ini yang kemudian menjadi awal dari wacana pemberontakan yang nanti akan dilakukan lagi oleh PKI.

Pemberontakan tersebut bermula dari kondisi tenggang PKI melawan pihak-pihak sayap kiri yang membuat perjuangan politik mereka menjadi sengit. Pemerintah yang pada saat itu terkesan memihak pada pihak barat membuat PKI merasa semakin tersudutkan hingga menentang hal tersebut. 

Hal ini kemudian berpuncak setelah penandatanganan Perjanjian Renville yang ditandatangai oleh Belanda dan Indonesia. Perjanjian tersebut dinilai tidak menguntungkan Indonesia dan malah menguntungkan Belanda yang seharusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kolonialisasi yang dilakukan sebelumnya. 

Dari perjanjian ini wilayah Indonesia dipersempit, dan dilakukan penarikan senjata dan pasukan dari beberapa zona konflik. PKI yang menerima hal itu sebagai hinaan simbolis dan aktual menjadi tidak sejalan lagi dengan pihak pemerintah Indonesia. Salah satu kelompok militan PKI yang tidak terima akan penarikan senjata tersebut adalah kelompok PKI yang berada di Madiun. 

Hal ini kemudian memicu konflik kekerasan bersenjata antar kelompok militan PKI Madiun dan TNI. Dalam beberapa laporan, dikatakan bahwa PKI telah melakukan proklamasi ‘Republik Soviet Indonesia’ pada tanggal 18 september 1948 (Syukur, 2008). 

Hal ini kemudian berlanjut pada serbuan TNI pada 30 September yang membunuh ribuan kader PKI, serta mengintrograsi dan mempenjarahkan 36.000 anggota lainnya. 

Pada 30 Oktober, Musso tertangkap dan diekseksui di Desa Niten Kecamatan Sumerejo, Ponogoro. Beberapa pemimpin lainnya seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Republik Rakyat Tiongkok untuk melakukan pengasingan.

Walaupun pemberontakan tersebut berdampak akan mati surinya PKI, namun secara resmi PKI sebagai partai politik tidak dilarang oleh pemerintah, sehingga pada tahun selanjutnya dilakukanlah rekonstruksi partai dan pergantian generasi pemimpin menuju kepemimpinan yang baru yaitu kepemimpinan D.N Aidit (Syukur, 2008). 

Di bawah kepemimpinan D.N Aidit, PKI perkembangan cepat yang kemudian melampaui posisi terkuatnya dahulu. Mereka mengupayakannya dengan melakukan kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ penerbit milik mereka yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. 

D.N Aidit sendiri melakukan fokus politiknya dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang anti-kolonialis dan Anti Barat. Berkat seluruh upayanya bersama kolega-koleganya, PKI mengalami perkembangan dari 5000 anggota pada 1950, menjadi bertambah hingga 165.000 pada 1954, dan kemudian melampaui 1,5 juta anggota pada 1959.

Di era Demokrasi Parlementer ini, PKI mulai mengorientasikan sikap politik mereka, dimana PKI akan cenderung menempuh garis kanan sebagaimana yang digariskan oleh Moskow, yaitu dengan jalan Legal parlementer dengan dilengkapi taktik merangkul golongan-golongan non-Komunis (Soedarno, 2014). 

Hal ini berarti akan dilakukannya pemberhentian sikap militeristik oleh PKI yang telah tercitrakan dalam pemberontakan yang dilakukan dahulu. Berdasarkan orientasi sikap politik tersebut PKI berupaya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap kaum buruh dan tani. 

D.N Aidit sendiri juga mulai melaksanakan kerjasama dengan golongan non-Komunis yang memiliki pandangan akan anti penjajahan dan anti barat. Aidit menyadari akan jatuh bangunnya partai dan maju mundurnya sebuah revolusi tergantung pada hubungan partai dengan kelas borjuis nasional. 

Maka dari itu, kini Aidit mengambil strategi yang bersifat defensif, dikarenakan PKI secara luas tidak dipercaya oleh banyak pihak dikalangan elit politik dan militer. Tujuan dari hal ini adalah untuk melindungi partai ini dari pihak-pihak yang mengharapkan kehancurannya (Soedarno, 2014). 

Dalam hal ini, Aidit juga sering memberikan dukungan kepada pemerintah atas kebijakannya dalam rangka menunjukan citra baru dari PKI tersebut.

Pada pemilihan yang terjadi pada tahun 1955, PKI meraih posisi ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara yang diraut. Hasilnya, PKI memperoleh 39 kursi dalam parlementer dan 80 krusi dalam badan konstituante. Hal ini dapat dibilang cukup mengejutkan mengingat tindakan pemberentokan yang beberapa tahun lalu dilakukan oleh partai ini.

3 Kejayaan Politik PKI Pada Era Demokrasi Terpimpin

Pada akhir era Demokrasi Parlementer, PKI dapat dikatakan telah mendapat kepercayaan penuh dari Soekarno, dimana Ia mencegah upaya TNI yang mencoba membatalkan konggres yang disenggelarakan PKI pada bulan agustus 1959. 

Masuk pada transisi era Demokrasi Terpimpin, Seokarno kemudian mencanangkan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis) dalam rangka melembagakan sejumlah kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia pada saat itu. Hal ini kemudian memberikan sebuah langkah yang pasti bagi PKI dalam melebarkan sayapnya dalam memberikan pengaruh politik kepada pemerintah dan kebijakannya. 

Satu-satunya penghalang bagi PKI untuk dapat memperbesar pengaruhnya adalah TNI, yang hingga kini masih memiliki sikap anti-komunis akibat dendam masa lalu (Syukur, 2008). Meskipun memiliki hubungan yang terkesan erat dengan Soekarno, PKI tetap menjaga otonominya sebagai kontrol pemerintah melalui prinsip ideologinya. 

Pada maret 1960, PKI melakukan penentangan terhadap penanganan yang demokratis akan anggaran negara yang dilakukan oleh Soekarno, mereka penentangan tersebut dengan menerbitkan berbagai artikel yang mengkritik kebijakannya tersebut. Hal ini kemudian berakibat akan ditangkapnya sejumlah pimpinan PKI, yang kemudian dibebaskan oleh Soekarno.

Pada maret 1962, para pimpinan PKI, Aidit dan Njoto, bergabung dengan pemerintah dengan diangkatnya mereka menjadi Menteri penasehat Presiden. Selain bagian dari NASAKOM, hal ini membuktikan bahwa PKI telah meraih kekuasaan politik yang signifikan hingga mendapat posisi tersebut. 

Dengan terusnya berkembang keanggotaan PKI tiap tahunnya, partai ini bisa dibilang telah meraih kejayaan politik yang cukup signifikan bagi perkembangan partai yang memiliki sejarah timbul-tenggelam. 

Pada tahun 1965, keanggotaan dari PKI telah mencapai 3 juta anggota, melampauo perkiraan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bahwa PKI akan mencapai anggota sekitar 2 juta anggota (Benjamin & Kautsky, 1968). 

Tidak hanya itu, PKI memiliki sejumlah sub organisasi yang dikatakan sebagai organisasi massa, seperti Gerakan Wanita Indonesia, Pemuda Rakhat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Himpunan Sardjana Indonesia, dan Lembaga Kebudayaan Rakjat. Yang apabila dijumlahkan keseluruhan anggotanya mencapai seperlima dari keseluruhan rakyat Indonesia kala itu.

4 Kemerosotan Hingga Akhir dari PKI Pada Era Demorkrasi Pancasila

Pada era Demokrasi Terpimpin, PKI memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam perpolitikan Indonesia. Salah satu usulan yang diupayakan mereka dalam berbagai upaya pengaruh politik tersebut adalah mengenai pembentukannya Angkatan ke-5. 

Usulan pembentukan Angkatan ke-5 ini dimaksudkan untuk menjadikan buruh dan tani sebagai kekuatan militer yang diperlukan dalam upaya mobilisasi massa untuk menuntaskan operasi-operasi militer, terutama operasi militer Dwikora yang pada saat itu sedang dilaksanakan. 

Namun usulan tersebut ditanggapi negatif oleh TNI yang merasa khawatir akan adanya niat lain yang dimiliki PKI dalam pembentukan Angkatan ini. TNI mencurigai bahwa PKI akan menyelengkan penggunaan senjata dalam upaya pemberontakan kepada pemerintah. 

Kecurigaan ini ditambah dengan beredarnya rumor bahwa PKI sedang menyiapkan pelatihan militer bagi masyarakat buruh secara diam-diam, dan sedang merencanakan kudeta. 

Dalam konteks melawan Malaysia, Soekarno terkesan mendukung usulan yang diberikan PKI itu, karena pada dasarnya hal ini berarti menambah pasukan militer yang dapat digunakannya untuk memerangi Malaysia, namun secara resmi Soekarno tetap diam dalam memberikan pandangannya atas usulan tersebut.

Pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan. Mereka adalah Letjen. 
  • Ahmad Yani (Men/Pangad), 
  • Mayjen. R. Soeprapto (Deputy II Men/Pangad), 
  • Mayjen. Harjono Mas Tirtodarmo (Deputy III Men/Pangad), 
  • Mayjen. S.Parman (Asisten I Men/Pangad), 
  • Brigjen. D.I. Panjaitan (Asisten VI Men/Pangad) 
  • dan Brigjen. Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman AD). 
Pada peristiwa ini Jenderal A.H. Nasution (Menhankam) berhasil lolos dari usaha penculikan. Tetapi putrinya yang bernama Ade Irma Suryani dan baru berumur 5 tahun serta ajudannya yang bernama Lettu. Piere Andreas Tendean meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. 

Pada sore hari pada 1 Oktober, Nasution kemudian keluar dari persembunyiannya dan langsung bergabung dengan pasukan Kostrad (Komando Strategi Darat) yang dipimpin Soeharto (Syukur, 2008). 

Kemudian beliau mengabarkan bahwa penculikan dan pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan Tjakrabiwara (pasukan gabungan militer pengaman Presiden). Soeharto kemudian mengetahui berita ini dan langsung segera mengambil alih komando di Angkatan Darat, dikarenakan hanya beliau yang memiliki pangkat tertinggi.

Walaupun beritanya masih belum jelas, namun banyak pihak yang mengklaim bahwa hal ini dilakukan oleh PKI, mengingat rumor bahwa akan terjadi kudeta yang dilakukan oleh mereka. Pada malam hari, Letnan Kolonel Untung Syamsuri, komandan pleton Tjakrawibawa, mengumkan di Radio bahwa dirinya adalah pemimpin dari Gerakan tersebut, dimana ia bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan. 

Mendengar berita tersebut, Seoharo beserta Angkatan udara memutuskan untuk menghadapi pasukan pemberontak tersebut, dalam operasi pemberantasan yang dipimpinnya. Konfrontasi kedua pasukan ini tidak berakhir dengan konflik senjata dikarenakan Seokarno memerintahkan langsung pasukan pemberontak untuk menyerah.

Di hari berikutnya, para petinggi militer mengumpulkan seluruh ketua partai politik, dengan PKI dan Parkindo yang tidak hadir. Maksud dalam pertemuan ini adalah untuk menentukan pilihan partai apakah akan mendukung Angkatan Darat atau Komunisme, dalam hal ini PKI (Syukur, 2008). 

Pada hari- berikutnya para pemimpin partai dan ormas dari berbagai unsur mengadakan ceramah umum yang bertempat di Taman Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Para pembicaranya antara lain H.M. Subchan Z.E, dan Yahya Ubaid (keduanya dari NU, Projokusumo (Muhammadiyah), Syeh Marhaban (PSII), Tejomulyo (Katolik) dan lain-lain (Mandan, 1991). 

Acara ini diakhiri dengan pernyataan bersama mengutuk tindakan kudeta 30 September yang telah memakan korban 6 Jenderal. Pernyataan ini secara tegas menyatakan bahwa PKI sebagai dalang kudeta oleh karenannya PKI dan ormas-ormasnya harus segera dibubarkan (Nasution, 1989).

Hal ini kemudian berujung pada operasi penumpasan PKI beserta ormas dan simpatisannya yang kemudian dilakukan oleh Angkatan Darat. Proses penghancuran PKI di Pulau Jawa dan daerah Jawa Tengah serta Jawa Timur dilakukan dnegan sangat keras, dikarenkaan wilayah-wilayah tersebut yang memiliki banyak anggota pengikut PKI. 

Operasi pemberantasan ini tidak hanya dilakukan oleh para militer saja namun berbagai organisasi rakyat juga mengambil peranan yang besar. Proses operasi ini berlangusung hingga bulan desember, dimana memasuki 1966, PKI sudah menjadi sejarah hari kemarin. 

Pada bulan maret, tepatnya tanggal 11, Soeharto dengan surat perintah yang dimilikinya langsung membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya secara resmi, yang mana tindakan tersebut mendapat dukungan yang besar dari public dan kaum anti-komunis. 

Kemudian pada bulan Juli,pimpinan parlementer, Jenderal Abdul Haris Nasution, menerbitkan TAP MPRS No: XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxis-Leninisme. 

Hal itu kemudian secara signifikan menutup kemungkinan PKI ataupun ajarannya untuk bangkit kembali di seluruh Indonesia.
Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment