Suku yang termasuk Suku Batak adalah suku Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Perang ini terjadi dari tahun 1878-1907, jadi kalau dihitung, 29 tahun lamanya perang di negeri Toba ini terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, yaitu Raja di negeri Toba, Sumatera Utara.
Beliau lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dan kemudian naik tahta pada usia 19 tahun pada tahun 1870. Beliau termasuk salah satu pejuang dan pahlawan Indonesia yang paling gigih dalam melawan penjajah Belanda sehingga diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.
Bahkan nama beliau diabadikan dengan dipakai sebagai nama jalan di beberapa kawasan Indonesia.
Latar belakang terjadinya perang Batak
Dilihat dari sejarah Perang Batak di atas, dapat dilihat bahwa latar Belakang atau faktor yang mendasari terjadinya Perang Batak adalah :
- Para Raja Batak atau Tapanuli yang masih menganut agama Batak kuno, yaitu Parmalim, merasa keberatan atas penyebaran agama Kristen di Tapanuli
- Belanda menunggangi gerakan Zending ( penyebaran agama Kristen) dengan kepentingan politiknya untuk menguasai daerah Batak Tapanuli.
- Belanda sengaja memicu konflik dengan Kerajaan Batak dengan dalih melindungi kepentingan para missionaris.
- Penolakan Raja Sisingamangaraja ke-XII atas penyebaran agama Kristen di daerah Batak/ Tapanuli yang dibawa oleh Dr. Nomensen, seorang Missionaris Belanda.
- Perang Tapanuli atau Batak pada tahun 1878-1907 terjadi karena politik dagang Belanda di Batak /Tapanuli, membuat rakyat mengalami kerugian dan penderitaan yang hebat. Tidak sedikit Petani-petani di Tapanuli yang kehilangan tanah dan pekerjaannya. Hal ini karena diberlakukannya politik liberal yaitu politik yang memberikan kebebasan kepada para pengusaha Eropa untuk bisa menyewa tanah penduduk pribumi dengan harga murah . Lebih parahnya lagi dalam pelaksanaan politik ini, penduduk pribumi dipaksakan untuk menyewakan tanahnya. Maka dari itu, Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
- Belanda melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah jajahan, yaitu memberlakukan politik Pax Nederlandica serta mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris. Kedua hal tersebut dilakukan Belanda dalam rangka menancapkan kekuasaannya di Nusantara, tidak terkecuali di Batak.
Sejarah Perang Batak
Sejarah Perang di Batak terdiri dari beberapa masa dan fase, yaitu masa kedatangan Belanda di Sumatra, masa konflik kepercayaan dan agama, masa peperangan, dan masa wafatnya Raja Sisingamangaraja XII. Untuk lebih jelasnya silahkan simak keterangan berikut ini :
Masa Kedatangan Belanda ke Sumatra
Perang Batak dipicu sejak kedatangan Belanda Ke kawasan Sumatra , yang mana dasar Kedatangan Belanda adalah dengan adanya Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824). Inggris memberikan seluruh wilayahnya di Sumatera kepada Belanda.
Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatera. Dari sinilah Belanda mulai melancarkan monopolinya di Bumi Sumatra. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda.
Politik ini bertujuan mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, namun Kesultanan Aceh dan Toba ( Batak) tidak mau menandatangani Korte Verklaring ( Perjanjian pendek) di Sumatra, padahal di sisi lain seluruh wilayah Sumatra, sudah membuka kerja sama dengan Belanda. Penolakan dan peralawanan Aceh, dapat disimak dalam Sejarah Perang Aceh melawan Belanda.
Pada saat itu, dalam masa Pemerintahan Sisingamangaraja XII tepatnya abad ke-18 Sumatra Utara masih dalam kondisi damai, dengan masyarakatnya yang mencari mata pencaharian dengan berburu, bertani, beternak dan sebagian lainnya berdagang.
Sementara di daerah Sumatra lainnya, kecuali Aceh, sudah di bawah kekuasaan Belanda. Sisingamangaraja XII merupakan raja yang sangat bijaksana, anti perbudakan, anti penindasan dan menjunjung tinggi nilai kemerdekaan. Beliau juga sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.
Masa konflik Agama dan keyakinan di Batak
Awal konflik antara Belanda dan Batak dipicu dari berkembangnya agama Kristen yang dibawa oleh Belanda melalui missionarisnya yang bernama Dr. Nomensen . Pada awalnya, Raja Sisingamangaraja XII tidak merasa keberatan dengan masuknya dan berkembangnya agama Kristen yang disebarkan oleh Belanda.
Namun, karena Belanda yang bersifat manipulatif dan ingin memanfaatkan misi penyebaran agama ini, untuk menguasai dan memonopoli Batak, maka Sisingamangaraja melakukan tindakan preventif. Seluruh kawasan Sumatra pada sat itu sudah dikuasai oleh Belanda , diantaranya Raja-raja huta Kristen Batak yang menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bakkara, Sisingamangaraja menolak adanya Agama Kristen di wilayahnya.
Hal ini dikarenakan mereka masih sangat mempertahankan dan menghormati agama asli Batak yaitu Parmalim. Agama Parmalim ini merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak dahulu kala.
Pengaruh Para Penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) di Silindung dan Bahal Batu, semakin besar dan menyebar di sana. Ditambah lagi para missionaris ini mempunyai kedekatan yang erat dengan tentara dan Pemerintahan Belanda, hal ini menimbulkan keresahan dalam Kerajaan Batak yang menganggap Belanda memanfaatkan konflik antara masyarakat Batak dengan para missionaris dengan tujuan untuk menguasai tanah Batak.
Segera untuk memadamkan penyebaran agama dari missionaris yang sudah ditunggangi kepentingan politik itu, Sisingamangaraja XII melakukan pengusiran terhadap missionaris di Silindung dan Bahal Batu.
Tidak terima dengan pengusiran tersebut, para missionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman pengusiran yang dilakukan oleh Singamangaraja XII tersebut.
Kejadian tersebut berlangsung pada tahun 1877. Konflik dengan para missionaris tersebut tidak berhenti disitu saja. Para missionaris semakin berani mengungkapkan ketidakpuasan mereka pada Kerajaan Batak karena dinilai menghalangi misi penyebaran agamanya.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen, untuk melindungi para Missionaris dan membantu permasalahan yang mereka alami.
Pasukan Belanda datang beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda. Kunjungan mereka ini diteruskan menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan.
Namun kehadiran tentara kolonial ini telah membuat Sisingamangaraja XII khawatir dan melakukan tindakan preventif sehingga beliau mengumumkan perang pada tanggal 16 Februari 1878. Nah, mulai sejak itulah penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di Sumatra Barat pada masa ini, yaitu pada Sejarah Perang Padri.
Masa Perang Batak
Tahun 1878
Perlawanan dan Pekik Perang dari Sisingamangaraja XII merupaka sesuatu yang sudah ditunggu oleh Belanda. Hal tersebut memudahkan Belanda untuk beralasan bahwa Kerajaan Bataklah yang mengobarkan perang terlebih dulu. Serangan Sisingamangaraja XII dibalas sengit oleh Belanda.
Saat itu pusat pertahanan Sisingamangaraja di Bakara, sementara pusat pertahanan Belanda di Bahal Batu. Untuk menghadapi serangan dari Kerajaan Batak, pada tanggal 14 Maret 1878, Belanda men datangkan Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga.
Kemudian tanggal 1 Mei 1878, Bangkara, yang merupakan pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial Belanda. Namun sayangnya, seluruh Bangkara dapat ditaklukkan pada tanggal 3 Mei 1878.
Untungnya, Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar dari wilayah tersebut untuk mengungsi. Sementara itu para raja yang masih tinggal di Bangkara dan tidak sempat melarikan diri dipaksa Belanda untuk bersumpah setia.
Maka sejak Belanda dapat menguasai Bangkara, wilayah tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Kisah pasang surut, menang kalah perjuangan melawan penjajah Belanda, juga dapat disimak di Sejarah Perang Banten melawan VOC Belanda.
Singamangaraja XII tidak menyerah sampai disitu, walaupun Bangkara sudah jatuh dalam kekuasaan Belanda, beliau terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, dan Huta Ginjang, dapat takluk dibawah gempuran Belanda.
Karena Lemahnya taktik perang, senjata, dan pasukan ,maka Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan tokoh-tokohnya untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Beliau pergi menuju ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut dalam latihan perang Keumala.
Berhubung Belanda unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Tahun 1888
Pada tahun 1888, para pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua dengan dibantu tentara Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan lagi-lagi dapat diredam oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser.
Saat itu Belanda juga menghadapi kesulitan menghadapi perlawanan di Aceh sehingga Belanda terpaksa membatasi perlawanannya terhadap Sisingamangaraja XII menghindari krisis pasukan dikarenakan tewas di dalam peperangan. Kehebatam kerajaan Aceh dapat disimak dalam Peninggalan Kerajaan Aceh.
Tahun 1889
Pasukan Sisingamangaraja XII, tidak berhenti melakukan perlawanan di Lobu Talu, mereka kembali menyerang Belanda Pada tanggal 8 Agustus 1889. Dalam pertempuran itu, seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu.
Namun Lobu Talu dapat direbut kembali setelah Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Tidak hanya di Lobu Talu, Huta Paong juga diduduki oleh Belanda Pada tanggal 4 September 1889. Pasukan Batak yang mengalami kekalahan, terpaksa ditarik mundur ke Passinguran namun pasukan Belanda terus mengejar pasukan Batak.
Hal ini menyebabkan pertempuran sengit tidak dapat dielakkan saat mereka bertemu di Tamba. Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus menerus tanpa henti dengan peluru dan altileri. Hal ini menyebabkan pasukan Batak mundur ke daerah Horion.
Khawatir dengan perlawanan Sisingamangaraja XII yang tiada surut, Belanda mencoba mengambil hati Sisingamangaraja dengan menjanjikan pengangkatan beliau sebagai Sultan Batak. Namun Sisingamangaraja XII dengan tegas menolak iming-iming tersebut. Beliau berpendapat lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri.
Merasa tersinggung dan geram dengan penolakan tersebut, Belanda mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk melacak keberadaan Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal atau oleh para pejuang Batak di sebut “Si Gurbak Ulu Na Birong”.
Walau Belanda sudah mengerahkan segala kekuatannya, pasukan Sisingamangaraja XII tak gentar untuk terus bertarung. Seorang Panglima Sarbut Tampubolon bersama pasukannya menyerang tangsi Belanda di Butar, sementara itu Belanda saat itu sedang menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang.
Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII melakukan serangan juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Perjuangan gigih yang serupa juga terjadi di Banjar, silahkan baca Sejarah Perang Banjar.
Tahun 1906
Pertempuran sengit yang dilakukan pasukan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda merambah ke berbagai penjuru wilayah di Batak. Sayangnya, Panglima Sisingamangaraja XII, Amandopang Manullang tertangkap oleh Belanda. Dan terlebih lagi Tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda.
Ini terjadi pada tahun 1906. Begitu banyak pengorbanan dan perjuangan dilakukan Sisingamangaraja XII ini, hingga satu persatu orang yang cukup berpengaruh dalam perjalanan perangnya ditawan.
Tahun 1907
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dijuluki Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Namun Sisingamangaraja XII tetap melakukan perlawanan dan tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan.
Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda begitu pula putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Belanda juga melakukan penangkapan pada Raja Buntal dan Pangkilim, disusul dengan penangkapan Boru Situmorang, Ibunda Sisingamangaraja XII, Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan kerabatnya yang lain.
Masa wafatnya Sisingamangaraja XII
Pada Tahun 1907, tepatnya di pinggir kali Aek Sibulbulon, di sebuah desa bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara, di Kabupaten Dairi, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda yang saat itu penyerangannya dipimpin oleh Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya yaitu Patuan Nagari dan Patuan Anggi beserta putrinya, Lopian.
Pengikut-pengikutnya terpecah belah dan berpencar namun tetap berusaha terus mengadakan perlawanan. Sementara itu, keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, direndahkan dan dinista.
Gugurnya Sisingamangaraja XII adalah pertanda jatuhnya tanah Batak ke dalam kekuasaan Belanda. Setelah jatuhnya dan kalahnya para pejuang Nusantara di masa kerajaan, masa-masa suram Bangsa kita dimulai hingga bertahun-tahun, hal ini dapat disimak dalam Masa kolonial Eropa di Indonesia.
Akibat Perang Batak
Perang Batak ini menyisakan kesedihan, kehancuran, korban jiwa, penindasan, penistaan, dan ketidak bebasan masyarakat Batak. Orang batak banyak yang terbunuh, pemukiman mereka hancur karena dibakar, agama Kristen yang saat itu menyebar menjadi berkembang subur tanpa ada halangan dari pihak manapun.
Sedangkan pihak Belanda mengalami krisis pendanaan karena saat bersamaan mereka juga menghadapi Aceh yang begitu kuat sehingga dia harus menggunakan pasukan dari luar yang dibayar mahal.Kemegahan, kejayaan dan silsilah Kerajaan Aceh, dapat disimak dalam Sejarah Kerajaan Aceh.
Dilihat dari sudut Politik, dampak Sejarah Perang Batak ini adalah jatuhnya Tapanuli/ Batak di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dari sudut ekonomi, Belanda berhasil menguasai dan menancapkan monopoli dagangnya di Tapanuli/ Batak, terutama hasil perkebunannya yaitu tembakau.
Dilihat dari sudut sosial adalah berkembangnya agama kristen di Tapanuli/Batak secara meluas sehingga menyebabkan perubahan keyakinan masyarakat sebelumnya