ASAL USUL DESA TIDU, Bukateja, Purbalingga

sd negeri 1 tidu

Desa Tidu merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Purbalingga dan masuk dalam wilayah Kecamatan Bukateja. Menurut Ny. Sinah ( sesepuh desa tersebut ), Desa Tidu telah masuk Kecamatan Bukateja sejak setelah terbentuk pemerintahan di Kabupaten Purbalingga. Saat itu Kecamatan Bukateja disebut dengan daerah Kademangan Bukateja. 

Berikut ini adalah sejarah atau asal usul terbentuknya Desa Tidu. 

Menurut Habib Ahmad Al Hafidz, sejarah berdirinya Desa Tidu berpusat pada seorang tokoh bernama Syekh Maulana. Beliau merupakan seorang mussafir dari negeri Romawi Kuno (Rumstambul) yang sedang mencari kakak kandungnya atas perintah kedua orang tuanya. Dalam pencarian kakaknya, Syekh Maulana harus menyusuri medan yang sulit ditempuh seperti hutan belantara dan samudra yang sangat luas. Dengan semangat dan perjuangan yang keras, medan sesulit itu dapat dilaluinya dengan mudah. Selain dengan kegigihannya itu, ternyata Syekh Maulana diberi sebuah pusaka bernama Jala Sutra oleh gurunya sebelum pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Bahkan dengan pusaka yang beliau miliki nama Syekh Maulana justru lebih terkenal dengan sebutan Syekh Jala Sutra.

Menurut ahli sejarah, kakak Syekh Maulana bernama Raden Banda Yuda. Beliau pergi meninggalkan negerinya saat beliau masih muda untuk menuntut ilmu di negeri Kuparman. Raden Banda Yuda berguru kepada seorang ahli sufi negeri tersebut, yakni Raden/Syekh Umar Said. Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di negeri Kuparman itu, Raden Banda Yuda bertekad untuk menyebarkan agama Islam ke segala penjuru dunia. Namun, sebelum beliau melakukan misinya yang tergolong besar tersebut, Raden Banda Yuda terlebih dahulu pulang untuk meminta restu kepada kedua orang tuanya di Rumstanbul. 

Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya, Raden Banda Yuda akhirnya berlayar dari Rumstanbul. Pendartan pertamanya adalah negeri Hindustan (sekarang India). Karena masyarakat disana lebih mempercayai ajaran yang dianutnya, akhirnya Raden Banda Yuda memutuskan agar melanjutkan misinya ke negara yang lain. Akhirnya beliau sampai di tanah Jawa sekitar tahun 1401 M atau 803 H dan mulai menyebarkan agama Islam disana.

Setelah berpuluh-puluh tahun Raden Banda Yuda meninggalkan tanah kelahirannya, rasa khawatir selalu menghantui kedua orang tuanya. Kekhawatiran inilah yang akhirnya membuat Syekh Maulana diperintahkan untuk mencari dimana keberadaan kakaknya yaitu Raden Banda Yuda. Syekh Maulana yang mendapat mandat dari orang tuanya segera mencari tau dimana kakaknya dan langsung mengadakan perlayaran dari negara satu ke negara lain. 

Akhirnya Syekh Maulana mendarat di tanah Jawa pada tahun 1441 M atau 844 H. Syekh Maulana singgah di tanah Jawa karena beliau mendapat petunjuk berupa cahaya yang sangat terang. Beliau pun mengikuti arah datangnya cahaya tersebut. Namun ternyata butuh perjalanan yang sangat panjang dalam melakukan pencarian kakaknya itu dengan mengandalkan cahaya tersebut.

Suatu ketika, beliau melihat cahaya yang sangat terang di depan kelopak matanya. Namun karena Syekh Maulana telah kecewa dengan perjalanan yang sangat panjang itu, akhirnya beliau memilih singgah terlebih dahulu untuk istirahat dan mencari bahan makanan di sekitar daerah hutan jati. Setelah Syekh Maulana mengumpulkan bahan makanan, beliau istirahat di bawah pohon jati yang paling besar dan tinggi. Disaat beliau istirahat, tiba-tiba datang segolongan jin yang lalu lalang dan membakar sebagian hutan jati tepat di sebelah pohon Syekh Maulana. Angin yang berhembus kencang membuat kebakaran itu semakin bertambah besar dan menjadi badai api. 

Syekh Maulana pun langsung berlari pergi menuju daerah pusat kebakaran untuk memadamkan api tersebut, namun usaha yang beliau lakukan hanya sia-sia semata. Daerah yang berada di sebelah Syekh Maulana telah hangus terbakar, sehingga daerah tersebut dinamakan Karangwuni. Nama Karangwuni diambil dari kata dalam bahasa Jawa yakni  Awu lan geni yang berarti bara dan api. Kini daerah tersebut masuk dalam kawasan Desa Wirasaba.

Setelah Syekh Maulana tidak berhasil memadamkan api di daerah yang dinamai Karangwuni tersebut, beliau pergi ke arah timur untuk mengetahui keadaan disana. Dengan rasa syukur, ternyata daerah tersebut selamat dari kebakaran hutan. Justru pohon-pohon jati yang berada di daerah tersebut sedang berbunga, dan bunga tersebut jatuh bertebaran di tanah. Melihat keadaan tersebut, Syekh Maulana lalu menamainya dengan Kembangan. 

Kata Kembangan juga berasal dari bahasa Jawa yaitu kembang yang berarti bunga. Bersamaan dengan penamaan daerah tersebut, terdengar pula suara “braaaak...” dari sebelah utara Kembangan. Setelah Syekh Maulana berjalan mendekati sumber suara tersebut, ternyata beliau mendapati pohon jati yang tumbang dan mengakibatkan munculnya bunyi “braaaak...”. Akhirnya daerah tersebut dinamakan pedusunan Brak. Hingga kini nama Brak di gunakan sebagai nama tempat tersebut dan menjadi bagian wilayah Kembangan.

Syekh Maulana terus melakukan perjalanannya ke arah timur. Sepanjang Syekh Maulana berjalan, beliau hanya melihat rawa dan hutan jati, namun anehnya lagi beliau hanya menemukan batang pohon jati yang masih satu pohon dengan pohon jati yang menjadi penyebab timbulnya bunyi “braaaak...” tadi. Hal ini membuat Syekh Maulana penasaran dengan keberadaan ujung pohon tersebut dan beliau pun langsung bergegas mencari dimana ujung pohon tersebut.

Setelah Syekh Maulana menemukan dimana letak ujung pohon tersebut, beliau hanya mendapati dedaunan dari pohon dan menutupi sebagian daerah rawa. Syekh Maulana pun menamai daerah tersebut dengan Kedung Jati, yang mana berasal dari bahasa Jawa yaitu godong jati yang berarti daun pohon jati.

Perjalanan yang begitu melelahkan dari Syekh Maulana ini tetap dilanjutkan. Namun sebelum beliau melangkah jauh, beliau istirahat di daerah sebelah selatan Kedung Jati. Syekh Maulana beristirahat di bawah rimbunnya hutan jati tersebut. Tak selang begitu lama, Syekh Maulana mendapati sebuah pohon jati yang teramat sangat besar dan berbeda dengan yang lain. Tempat adanya pohon jati tersebut dinamakan Lawi Gede. Nama Lawi Gede pun di ambil dari bahasa Jawa yakni lewih gede yang berarti lebih besar.

Setelah Syekh Maulana selesai istirahat, beliau kembali menemukan cahaya terang di dekat matanya. Syekh Maulana pun melanjutkan perjalanannya dengan malas dan hampir mencapai keputusasaan. Tidak terlalu lama berjalan, kemudian Syekh Maulana sampai di tempat cahaya itu berasal. Alangkah terkejutnya saat beliau bertemu dengan seorang laki-laki berjubah putih dan berambut panjang sedang duduk termenung di bawah pohon jati. 

Syekh Maulana pun mendekatinya sambil mengucapkan salam. Salam Syekh Maulana pun dijawab dengan suara yang lemah dan merintih bagaikan ajal akan segera tiba. Setelah keduanya berbincang-bincang dan menceritakan maksud dan tujuan mereka masing-masing, akhirnya beliau mendapati kakanya, yakni Raden Banda Yuda yang tak lain adalah seorang yang duduk bersimpuh di bawah pohon jati yang tinggi itu.

Syekh Maulana mengupayakan dan membujuk Raden Banda Yuda agar ikut pulang ke Rumstanbul bersamanya. Namun dengan keadaan Raden Banda Yuda yang semakin terpuruk, maka Syekh Maulana pun tidak memaksanya. Selang beberapa saat setelah pengutaraanya, beliau meninggal di tempat dan dimakamkan di tempat itu pula. Pekuburan tersebut dinamakan Pekuburan Kepadangan yang di ambil dari kata padang yang berarti cahaya terang dan Syekh Maulana memberi nama tambahan yakni Sukmo Sejati. 

Raden Banda Yuda juga memiliki murid bernama Surowiyoto. Beliau juga melanjutkan misi dari gurunya dalam penyebaran agama Islam. Kiprahnya dalam penyebaran agama Islam ditandai dengan didirikannya padepokan di dekat Sumur Tuk Putih dan beliau mengembangkan ilmunya hingga akhir hayatnya. Hingga sekarang siapa yang beruntung mandi di sumur tersebut akan keluar mata air yang putih seperti susu.

Setelah Raden Banda Yuda dikebumikan, Syekh Maulana memutuskan agar tetap berada di daerah tersebut untuk melanjutkan misi dari kakaknya. Beliau pergi ke hutan jati sebelah selatan dan mendirikan sebuah padepokan. Syekh Maulana menamai daerah tersebut dengan Tidu, yakni berasal dari kata jati sing dhuwur atau pohon jati yang tinggi. 

Syekh Maulana pun menghabiskan sisa umurnya dalam padepokan tersebut dan jazadnya dikebumikan di dekat padepokan. Masyarakat menyebutnya dengan panembahan Karang Ayar yang berarti hutan yang baru terbakar. Hingga kini ketiga tempat tersebut sangat dikeramatkan. Bahkan banyak orang-orang luar daerah melakukan ziarah kubur pada tempet-tempat tersebut.
Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment