ASAL USUL DESA SELAKAMBANG, Kaligondang, Purbalingga

sd n 4 selakambang

Pada zaman dahulu, di sebuah Kabupaten di Purbalingga-Jawa Tengah terdapat dua buah desa yang berbatasan secara langsung yaitu desa Pagerandong dan desa Selamanik. Kedua desa tersebut maasing-masing dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang disebut oleh masyarakat dahulu dengan nama “sesepuh”. 

Sesepuh memiliki makna orang yang dihormati. Desa Selamanik dipimpin oleh seseorang yang dijuluki Eyang Purwasuci, sedangkan desa Pagerandong dipipmpin oleh Eyang Adi Menggala. Konon kedua orang tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa. Sehingga dengan kekuatan itu mereka disegani oleh orang lain dan dipercaya untuk menjaga keamanan desa dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dulunya mereka berasal dari satu perguruan yang sama.

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar bahwa masyarakat zaman dahulu banyak yang memiliki kekuatan-kekuatan magis (supranatural) yang jarang dimiliki oleh masyarakat pada zaman sekarang. Seiring berjalannya waktu, terjadi sebuah konflik antar kedua desa tersebut yang hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang bernama sungai Lebak. 

Masyarakat dari desa Pagerandong beserta pemimpinnya menghendaki adanya perluasan wilayah ke desa Selamanik. Akan tetapi, dari pihak masyarakat Selamanik menolak hal itu. Sehingga terjadilah perang besar antar kedua desa. Perang pada saat itu tidak hanya berupa perang fisik, akan tetapi dari kedua pihak saling mengadu kesaktian masing-masing.

Dengan kekuatan yang dimiliki, Eyang Adi Menggala menyebatkan sapu tangannya sehingga terjadi hujan batu di desa Selamanik mulai dari batu yang berukuran kecil hingga batu yang berukuran sangat besar dengan jumlah yang sangat banyak. 

Melihat kejadian itu, Eyang Purwasuci tidak tinggal diam. Ia berusaha menghalau batu-batu tersebut dengan menggunakan keris yang ia miliki. Akhirnya ia mampu mengembalikan hujan batu yang dikirimkan oleh Eyang Adi Menggala dan kawan-kawannya.

Akan tetapi, karena jumlah batu yang berjatuhan itu sangat banyak, Eyang Purwasuci tidak mampu mengembalikan batu-batu tersebut secara keseluruhan ke desa Pagerandong sehingga masih banyak tersisisa batu di desa Selamanik sampai saat ini. 

Di antara batu-batu tersebut terdapat sebuah batu yang berukuran sangat besar yang tertinggal di sungai Lebak. Namun terdapat keanehan pada batu tersebut yaitu batu tersebut mengapung di atas sungai. Menurut cerita, batu tersebut mengapung akibat kekuatan suci yang dimiliki oleh Eyang Purwasuci. 

Melihat kekuatan yang dimiliki oleh Eyang Purwasuci, akhirnya niat Adi Benggala untuk menambah luas kawasan desa Pagerandong ke desa Selamanik pun dibatalkan.

Semenjak kejadian itu, nama Selamanik pun berganti menjadi nama Selakambang yang pada dasrnya terdiri dari dua kata yaitu Sela yang berarti batu, dan kambang yang berarti terapung. Sehingga jika digabungkan memiliki arti “batu yang mengapung”. 

Sampai saat ini, batu besar tersebut masih berada di sungai lebak. Tidak tanggung-tanggung, ukurannya memang sekitar  lima kali lebih besar dari ukuran rumah pada umumnya yang ada saat ini.

Hanya saja, keadaannya sudah tidak lagi mengapung seperti cerita yang masyarakat katakan, akan tetapi sungainya mengalir mengitari sungai Lebak yang mengindikasikan bahwa keadaan desa tersebut sudah aman. 

Kepercayaan masyarakat akan kekuatan gaib yang dimiliki batu besar tersebut masih tersisa sampai saat ini yang dibuktikan dengan adanya masyarakat yang melakukan ritual-ritual khusus pada malam hari terutama malam jumat kliwon dengan berbagai tujuan. Ketika sore hari, banyak masyarakat yang datang  sekedar untuk melihat-lihat pemandangan atau bersantai-santai.

Cerita tidak berhenti sampai di situ. Akibat konflik dan permusuhan yang terjadi antar Eyang Purwasuci dan Adi Menggala, menimbulkan larangan terhadap anak keturunannya untuk saling menikahkan sanak-saudaranya (besanan) antara warga desa Selakambang dengan waarga desa Pagerandong. Ini adalah sebuah karma yang masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. 

Jika larangan tersebut dilanggar maka keluarga yang melannggarnya itu akan mendapat musibah. Memang terbukti bahwa masyarakat dari kedua desa tidak melakukan besanan. Sebagian dari mereka yang melanngar hal itu mendapat musibah seperti orang tuanya menjadi gila, terserang penyakit, dan sebagainya.
Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment