ASAL USUL DESA WIRASABA, Bukateja, Purbalingga

pangkalan TNI AU Wirasaba

Letak desa Wirasaba sangat strategis dan berada tepat di tengah -tengah ex Karesidenan Banyumas, dan dengan ketinggian +/- 65 m dpl suhu di wilayah ini cukup panas di siang hari, berkisar antara 21° C di malam hingga 31 °C di siang hari.

Untuk wilayah desa Wirasaba Kidul kadus 1 dan kadus 2 (selatan lanud), untuk mengantispasi kebutuhan air selama musim kemarau sudah dibangun sarana semacam PDAM yang dikelola oleh masyarakat desa dan telah dinikmati oelh sebagian masyarakat wilayah grumbul selatan. Karena berdasarkan penelitian secara geologis oleh pihak pihak yang kompeten, terdapat cekungan sumber mata air yang melimpah yang berlokasi di perbatasan selatan Lanud.

Dilewati oleh sungai serayu di timur dan selatan desa, menjadikan sungai sebagai alternatif pencaharian masayarakat pencari batu dan pasir kali serta kegiatan memancing.

ASAL USUL DESA WIRASABA

Desa Wirasaba dilihat dari sejarahnya tentu tidak lepas dari Sejarah "BABAD BANYUMAS" di mana info transkrip tentang sejarah ini entah dimana keberadaannya. Pernah diinfokan melalui media tulis lain bahwa menurut cerita warga setempat bernama Bpk Madmarta telah memiliki catatan tersebut.

Di desa Wirasaba juga terdapat makam dari Trah keluarga Djayadiwangsa yang merupakan salah satu pedagang jaman Hindia Belanda dan dimungkinkan secara silsilah merupakan keturunan dari Adipati Wirasaba dan berkaitan dengan sejarah kerajaan Pajang/Mataram.

Pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatttkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. 

Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.

Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah (Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.

Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa piker panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.

Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.

Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. 

Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. 

Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua) melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu Pahing.

Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan.

Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecuali itu Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. 

Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya pembangunan nasional.

Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.
Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment