ASAL USUL DESA PANICAN, Kemangkon, Purbalingga


Desa-Panican-Kecamatan-Kemangkon-5.jpg

Pada zaman kekuasaan Kerajaan Mataram abad ke-18, khususnya wilayah Kesultanan Yogyakarta menjadi semakin sempit karena banyak daerah yang diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda berhasil memecah belah wilayah kerajaan Mataram menjadi Surakarta, Ngayogyakarta, Mangkunegara dan Pakualaman. Sebagian besar daerah-daerah kekuasaan Mataram diambil alih oleh Belanda dengan dalih sebagai imbalan atas bantuan pada pihak tertentu dari empat kerajaan kecil tersebut.

Di lingkungan istana Yogyakarta sendiri terdapat dua golongan, satu golongan berpihak pada pemerintah kolonial Belanda, sementara pihak lain menentang pemerintah Belanda. 

Pangeran Diponegoro merupakan salah satu bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta dan putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III yang menentang kolonial Belanda karena telah melihat berbagai penindasan yang mereka lakukan kepada rakyat. 

Beliau akhirnya lebih memilih untuk mengasingkan diri dari istana dan menetap di desa Tegalrejo, Yogyakarta. Di desa inilah Pangeran menjalani hidup sebagai rakyat biasa namun diam-diam mulai menyusun kekuatan untuk melawan kolonial Belanda.

Saat pemerintahan kolonial Belanda, kewibawaan kerajaan merosot karena Belanda ikut campur dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan pergantian raja, serta kaum bangsawan saat itu juga sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Kemudian, adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot. 

Selain itu, berbagai macam pajak seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah menjadi salah satu faktor penderitaan berkepanjangan yang dialami rakyat. Banyaknya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda sehingga menimbulkan kebencian dari kalangan rakyat. 

Kebencian tersebut melahirkan perlawanan rakyat menentang pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang didukung oleh Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.

Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di selatan Yogyakarta. 

Saat itu, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dan memusatkan pertahanannya di Goa Selarong. Penggunaan strategi perang gerilya ini terbukti cukup berhasil karena pasukan Diponegoro mampu mendesak Belanda hingga ke daerah Pacitan. 

Belanda yang mulai kewalahan menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro akhirnya menerapkan strategi benteng stelsel, yaitu dengan mendirikan beberapa benteng di daerah yang sudah berhasil dikuasai dan menghubungkan tiap benteng dengan jalan sehingga akan memudahkan komunikasi. 

Tujuan didirikannya benteng stelsel yaitu agar pasukan Pangeran Diponegoro menjadi terpecah belah, kemudian ruang geraknya terbatas, dan kesulitan mendapatkan suplai logistik maupun senjata dan pasukan. Penggunaan strategi benteng stelsel oleh Belanda mampu mempersulit pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro sehingga setiap pasukan hanya bisa bertahan di daerah masing-masing. Banyak pasukan Pangeran Diponegoro yang tertangkap, terbunuh, maupun menyerahkan diri karena terus terdesak. 

Meskipun terus terdesak, Pangeran Diponegoro bersama para pasukannya terus melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda meski pemerintah Belanda menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya dalam keadaan hidup atau mati.

Perang Diponegoro meluas dari Yogyakarta ke daerah lain, seperti Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Madiun, Rembang , Semarang, dan Kertosono, sehingga  Perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa (Java Oorlough). Pasukan Pangeran Diponegoro mendapat banyak kemenangan pada pertempuran-pertempuran sekitar tahun 1825 - 1826. Peristiwa yang cukup gemilang adalah pertempuran di Lengkong. 

Pasukan Pangeran Diponegoro berhasil memporak-porandakan pasukan Belanda yang lebih besar. Dengan siasat gerilya, pasukan Pangeran Diponegoro berhasil menghantam pasukan Belanda di beberapa tempat.

Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat benteng stelsel ( sistim benteng ) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistim benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.

Pada tahun 1828, Belanda melakukan upaya lain dengan bujukan-bujukan yang menjanjikan kepada pendukung Pangeran Diponegoro. Kyai Mojo yang merupakan salah satu pendukung Pangeran Diponegoro berhasil diperdaya dalam perundingan yang berlangsung di Mlangi. Seusainya perundingan, Kyai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Minahasa sampai wafatnya.

Setahun kemudian, Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk memadamkan perlawanan dari Tuanku Imam Bonjol. 

Bahkan Sentot Prawirodirjo dianugerahi pangkat Letnan Kolonel yang langsung di bawah pimpinan Jendral De Kock. Namun pada akhirnya, Sentot Prawirodirjo ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Bengkulu sampai wafatnya, karena beliau dan pasukannya justru mendukung perjuangan Tuanku Imam Bonjol.

Jenderal De Kock akhirnya menggunakan kembali siasat tipu muslihatnya melalui perundingan yang menghormati dan menjamin keselamatan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. 

Hasil dari perundingan tersebut ternyata tidak membuahkan hasil atau kesepakatan. Kekebalan keselamatan Pangeran Diponegoro pun juga diingkari. Setelah perundingan selesai, Pangeran Diponegoro di tangkap dan ditawan oleh kolonial Belanda di Semarang dan dipindah ke Batavia.

Setelah para prajurit dan pendukung dari Pangeran Diponegoro mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh kolonial Belanda, para prajurit dan pendukung tersebut banyak yang melarikan diri untuk menghindari dari kolonial Belanda. 

Salah satunya pada 3 orang prajurit Mataram yang berhasil melarikan diri. Mereka melarikan diri dengan berjalan terus tanpa mengenal arah hingga akhirnya tersesat di sebuah hutan yang berawa dan penuh dengan binatang buas. 3 orang prajurit tersebut adalah Wisayudha, Wisanala, dan Wisananga. 

Ketiga prajurit tersebut dengan gagah berani bertahan hidup di hutan yang berawa dan ditumbuhi oleh pohon-pohon lebat dan besar. Konon hutan lebat dan berawa tersebut dikuasai oleh seekor raja hutan, yang berupa seekor harimau yang sangat besar. Harimau ini terkenal sebagai penguasa hutan paling kejam.

3 orang prajurit tersebut berencana untuk membuka daerah ini sebagai permukiman. Rencana ini dapat diwujudkan dengan syarat dapat mengalahkan raja hutan harimau. Tetapi harimau ini sangat kuat dan sakti. 

Untuk mengalahkan harimau tersebut, ketiga prajurit membuat bronjong (keranjang besar dari anyaman bambu) sebagai alat penjebak. Kemudian membuat rencana untuk menggiring harimau tersebut agar masuk dalam perangkap mereka.

Akhirnya macan tersebut dapat bunuh. Kemudian masyarakat menyebut tiga orang tersebut orang yang wani macan dan lambat laun di pakai sebagai nama desa wanican dan berubah menjadi panican.
Hanya Manusia Biasa yang ingin berbagi ilmu. Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih

Post a Comment